- PDIP belum beri sanksi tegas ke Deddy Sitorus
- Pengamat dorong PAW, bukan sekadar nonaktifkan
- Publik desak DPR dan partai tunjukkan perubahan nyata
Suara.com - Pengamat politik Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto menyoroti sikap PDI-Perjuangan (PDIP) yang tak kunjung menjatuhi sanksi pada kadernya, Deddy Sitorus setelah dianggap sebagai salah satu pemicu unjuk rasa besar-besaran atas pernyataannya.
Menurut Agus, seharusnya PDI-Perjuangan memberi sanksi berupa pergantian antar waktu (PAW) terhadap Deddy.
Sejauh ini, sejumlah partai telah menjatuhi sanksi berupa penonaktifan kepada kader yang jadi sasaran kemarahan publik.
Meski demikian, ia menilai sanksi ini tak cukup dan partai harus menghukum dengan menunjuk PAW.
"Kalau itu bagian dari respon partai seharusnya ya dilakukan pergantian antar waktu, bukan dinonaktifkan ya. Kan dinonaktifkan itu kan baru dinonaktifkan dalam pengertian tidak bekerja. Untuk penjelasan lebih lanjut, apakah itu akan diganti antar waktu sehingga yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR diganti oleh anggota DPR yang lain," beber Agus kepada wartawan, Selasa (2/9/2025).
Diketahui, sikap sejumlah anggota DPR RI yang belakangan menuai kritik publik.
Nama-nama seperti Ahmad Syahroni (NasDem), Eko Patrio (PAN), Uya Kuya (PAN), Deddy Sitorus (PDI-P), hingga Nafa Urbach (NasDem) masuk dalam sorotan karena dianggap kerap melontarkan pernyataan arogan.
Agus mengakui, keputusan partai menonaktifkan kader yang bermasalah merupakan bentuk respons positif.
Namun, publik menilai langkah tersebut belum menyentuh substansi karena tidak jelas apakah berujung pada PAW atau hanya sebatas peringatan.
Baca Juga: Dikejar Pertanyaan Soal PAW, Begini Reaksi Elite Pimpinan Partai Politik di Istana
"Kalau itu (mengundurkan diri atau tidak) itu persoalan rasa ya. Soal bagaimana sensitifitas melihat suasana dan kebatinan masyarakat. Kalau dinonaktifkan itu tergantung mekanisme yang ada di partai," jelas Agus.
Khusus menyangkut Deddy Sitorus, yang hingga kini belum dijatuhi sanksi oleh PDI-P, Agus menilai penyelesaiannya bergantung pada mekanisme internal partai banteng moncong putih.
Ia menekankan pentingnya sensitifitas politik dalam membaca keresahan masyarakat.
Lebih lanjut, Agus menilai yang terpenting bagi anggota DPR yang menuai kritik adalah melakukan introspeksi.
"Menurut saya sepanjang mereka bisa memperbaiki diri, kemudian bisa mengubah diri dan menjadikan kasus ini sebagai pelajaran. Buat saya yang penting sih melakukan perubahan," katanya.
Ia menegaskan, solusi bukan sekadar mundur dari jabatan, melainkan menunjukkan perubahan sikap yang nyata agar kepercayaan masyarakat terhadap DPR dapat pulih.
"Bukan mengundurkan diri itu ya, tapi melakukan perubahan signifikan sehingga bisa memulihkan harapan masyarakat terhadap fungsi DPR," imbuhnya.
![Pengamat hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto. [Dok Pribadi]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/12/12/46934-pengamat-hukum-universitas-sebelas-maret-uns-agus-riewanto.jpg)
Agus juga mengingatkan para anggota DPR, DPRD, maupun elite politik untuk lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan.
Ia menilai pernyataan-pernyataan yang tidak tepat hanya akan memperlebar jarak antara wakil rakyat dan masyarakat.
"Jadi tindakan pimpinan partai terhadap tiga, empat anggota DPR yang sudah menonaktifkan, menurut saya itu tindakan yang tepat. Hanya saja mungkin tidak berhenti pada individu menurut saya. Tapi juga pada institusi DPR untuk berubah," tandasnya.
Gelombang protes terhadap DPR sendiri masih membekas di tengah publik. Akhir Agustus 2025, Indonesia diguncang demonstrasi besar.
Aksi ini berpusat di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, lalu meluas ke Surabaya, Semarang, Makassar, Medan, hingga Mataram.
Demonstrasi dipicu oleh keputusan DPR yang menyetujui tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan, ditambah sikap arogan dan pernyataan kontroversial sejumlah wakil rakyat yang makin menyulut kemarahan masyarakat.