- Penangkapan Delpedro dilakukan malam hari tanpa didahului surat panggilan dan surat penangkapan pun tidak jelas
- Delpedro Marhaen dituduh jadi dalang di balik kerusuhan demo 25 Agustus 2025.
- Direktur Eksekutif Lokataru Foundation dijerat pasal berlapis oleh Polda Metro Jaya
Suara.com - Aktivis sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, dijemput paksa oleh aparat kepolisian pada Senin malam, 1 September 2025.
Penangkapan Delpedro yang berlangsung dramatis di kantor Lokataru ini sontak memicu gelombang protes dari kalangan masyarakat sipil.
Peristiwa ini membuka kembali diskursus genting mengenai batas antara penegakan hukum dan potensi pembungkaman suara-suara kritis di Indonesia.
Benarkah penangkapan ini murni proses hukum, atau ada agenda lain untuk meredam kritik terhadap pemerintah?
Kronologi Penjemputan Paksa Delpedro Marhaen
- Ditangkap malam-malam
Menurut keterangan resmi dari Lokataru Foundation, penangkapan terjadi sekitar pukul 22.45 WIB.
Sekitar tujuh hingga delapan orang yang mengaku sebagai anggota Polda Metro Jaya mendatangi kantor Lokataru di Jakarta Timur untuk menjemput Delpedro.
- Surat Penangkapan Tidak Jelas
Proses penangkapan ini dinilai sarat akan kejanggalan prosedural. Pihak kepolisian menunjukkan surat perintah penangkapan namun tidak jelas perihal isinya.
Ia juga diancam hukuman 5 tahun penjara dan polisi harus membawa barang bukti seperti laptop milik Delpedro dan beberapa barang lain.
- Dilarang Berkomunikasi
Delpedro sempat mempertanyakan dasar hukum dan pasal yang dituduhkan kepadanya, serta meminta didampingi oleh penasihat hukum.
Baca Juga: Direktur Lokataru Delpedro Marhaen Ditangkap, Jadi Tersangka Penghasutan Demo Libatkan Anak
Namun, permintaan tersebut diabaikan. Aparat justru disebut membatasi hak Delpedro untuk berkomunikasi, termasuk melarangnya menggunakan telepon untuk menghubungi keluarga atau pengacara.
Lebih lanjut, Lokataru menuding aparat melakukan penggeledahan tanpa surat perintah dan bahkan diduga merusak atau menonaktifkan kamera CCTV di kantor, sebuah tindakan yang berpotensi menghilangkan barang bukti.
"Penangkapan ini merupakan tindakan represif yang mencederai prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM)," tulis Lokataru dalam pernyataan resminya.
Siapa Delpedro Marhaen? Jejak Aktivis Vokal Pembela HAM
Untuk memahami konteks penangkapan ini, penting untuk melihat rekam jejak Delpedro Marhaen.
Ia bukanlah nama baru dalam dunia aktivisme dan pembelaan hak asasi manusia di Indonesia.
Sebelum menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro aktif sebagai peneliti di Haris Azhar Law Office dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Lulusan Sarjana Hukum Universitas Tarumanagara ini juga melanjutkan studi magister di bidang Ilmu Politik dan Hukum.
Keterlibatannya yang konsisten dalam isu-isu kebebasan sipil, demokrasi, dan advokasi HAM membuatnya dikenal sebagai salah satu aktivis kritis yang kerap berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Ini bukan kali pertama ia berurusan dengan aparat; pada Agustus 2024, ia juga pernah ditangkap saat melakukan aksi menolak RUU Pilkada di depan Gedung DPR RI.
Jerat Pasal Berlapis, Dari Hasutan hingga UU ITE
Dalam konfrensi pers (2/9/2025), Polda Metro Jaya menjerat Delpedro dengan serangkaian pasal yang terbilang serius. Ia di tuduh melakukan tindak provokasi dalam demo 25 Agustus 2025.
Tuduhan utamanya adalah penghasutan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 160 KUHP.
Selain itu, ia juga disangkakan melanggar Pasal 15 dan Pasal 76H Undang-Undang Perlindungan Anak, yang intinya melarang pelibatan anak dalam kerusuhan sosial.
Tidak berhenti di situ, pasal karet dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) turut disematkan kepadanya. Yaitu Pasal 28 ayat 3 UU ITE yang perihal:
"Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat"
Penggunaan pasal-pasal ini, terutama UU ITE dan pasal penghasutan, sering menjadi sorotan karena dianggap multitafsir dan rentan digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis dan jurnalis.
Kombinasi tuduhan ini menciptakan kesan bahwa Delpedro adalah aktor intelektual di balik kerusuhan, sebuah narasi yang coba dibangun oleh aparat penegak hukum.
Kini tindakan aparat kepolisian menjadi barometer kesehatan kebebasan sipil. Bola ada di tangan publik untuk terus mengawasi proses hukum ini secara ketat.
Apakah Anda percaya bahwa penangkapan Delpedro Marhaen ini adalah murni penegakan hukum? Atau Anda melihatnya sebagai bagian dari upaya sistematis untuk membungkam kritik?
Bagikan pendapat Anda di kolom komentar dan teruslah menjadi warga negara yang kritis. Nasib demokrasi kita bergantung pada keberanian kita untuk tidak diam.