- Akar demo adalah krisis kepercayaan publik akibat runtuhnya legitimasi fiskal.
- Pemerintah dinilai boros, sementara rakyat diminta taat pajak dan efisien.
- Pertumbuhan ekonomi dinilai timpang, kelas menengah rentan jatuh miskin.
Suara.com - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia mengungkapkan bahwa gelombang unjuk rasa yang meluas di berbagai wilayah pada 28 Agustus-30 Agustus 2025 berakar runtuhnya legitimasi fiskal.
Persoalan tersebut kemudian menyebabkan puncak ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
"Akar masalahnya adalah adanya krisis kepercayaan kepada pemerintah akibat runtuhnya legitimasi fiskal," kata Deni Friawan, peneliti senior Departemen Ekonomi CSIS, dalam media briefing di Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Kontradiksi Kebijakan
Deni menjelaskan, krisis kepercayaan ini dipicu oleh kontradiksi yang sangat terlihat antara narasi pemerintah dengan kebijakannya.
Sementara di satu sisi, pemerintah terus meminta masyarakat untuk taat membayar pajak dan menerima kebijakan efisiensi.
Namun, di sisi lain, publik justru disuguhkan dengan kebijakan yang bertolak belakang.
"Pemerintah tampak boros menambah jumlah kementerian dan lembaga, membiarkan rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan pejabat dan anggota DPR," kata Deni.
Kontradiksi inilah yang menurutnya meruntuhkan pondasi utama legitimasi fiskal, yaitu kepercayaan publik.
Baca Juga: CSIS: Situasi Sekarang Mirip 1998, Ada Ketidakadilan dan Tekanan Ekonomi
Lebih jauh, Deni menjelaskan bahwa dalam teori ekonomi-politik, pajak merupakan sebuah kontrak sosial antara rakyat dan negara.
Rakyat bersedia membayar pajak karena percaya akan ada timbal balik berupa pelayanan publik, stabilitas, dan keadilan.
"Sayangnya, rasa keadilan itu hari ini kian memudar karena adanya kontradiksi dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah," jelasnya.
Selain krisis kepercayaan, faktor ketimpangan dan beban ekonomi yang dirasakan masyarakat menjadi pemicu lainnya.
Deni menyebut, meskipun ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen, distribusinya tidak merata.
"Di sisi lain, tingkat kemiskinan itu memang turun per persentasenya, tapi kita juga tahu bahwa kelas menengah juga turun," tambahnya.