"Ada seseorang bernama Ibnu Mas’ud yang merupakan pemilik PT Muhibbah dari Pekanbaru, menawarkan kami visa ini, sehingga akhirnya kami ikut dengan visa itu di travel-nya dia di Muhibbah. Jadi, kami terdaftar sebagai jemaah di situ," jelas Khalid.
Kala itu, travel miliknya, Uhud Tour, belum mengantongi izin sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PHIK). Ibnu Mas'ud meyakinkannya dengan dalih bahwa kuota tersebut resmi.
"Bahasanya Ibnu Mas’ud kepada kami, PT Muhibbah ini adalah kuota tambahan resmi 20.000 dari Kemenag. Karena dibahasakan resmi dari pihak Kemenag, ya kami terima, dan saya pun terdaftar sebagai jemaah di PT Muhibbah," tambahnya.
Akhirnya, Khalid bersama 122 jemaah lainnya berangkat via PT Muhibbah.
Pembagian Kuota yang Menyalahi Aturan
Dugaan korupsi ini berawal dari kebijakan pembagian kuota haji tambahan sebanyak 20.000 yang diperoleh Indonesia dari Arab Saudi untuk tahun 2024.
Plt. Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, pembagian kuota haji seharusnya mengikuti rasio 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
"Jadi kalau ada kuota haji, berapa pun itu, pembagiannya demikian. Kuota regulernya 92 persen, kuota khususnya 8 persen," kata Asep.
Artinya, dari 20.000 kuota tambahan, seharusnya 18.400 dialokasikan untuk jemaah reguler dan hanya 1.600 untuk jemaah khusus.
Baca Juga: Terungkap! Ini yang Dicecar KPK dari Khalid Basalamah dalam Skandal Korupsi Haji
Namun, yang terjadi justru penyimpangan fatal. "Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua. 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus," ungkap Asep.
Pembagian 50:50 ini secara drastis melambungkan jumlah kuota haji khusus yang jauh lebih mahal dan menguntungkan biro perjalanan tertentu, sekaligus memicu dugaan adanya praktik jual beli kuota di internal kementerian.