-
Kesetaraan gender belum tercapai dalam sistem demokrasi kapitalis.
-
Peran ibu rumah tangga krusial namun sering diremehkan.
-
Perempuan perlu membangun jaringan untuk memperkuat partisipasi dan kepemimpinan.
Suara.com - Sebuah diskusi yang menyorot soal kesetaraan perempuan dan ibu dalam berdemokrasi digelar dan menjadi sorotan bagi salah satu dosen di program studi kajian gender, SKSG UI, Hariati Sinaga.
Diskusi panel bertajuk "Perempuan & Ibu, Suara Setara untuk Demokrasi" menyoroti berbagai isu krusial terkait kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam demokrasi, dikutip Selasa (30/9/2025).
Hariati Sinaga menyampaikan pandangan tajamnya tentang ketimpangan yang masih mewarnai sistem demokrasi, terutama dalam konteks kapitalisme, serta peran vital kaum perempuan yang kerap terabaikan.
Hariati Sinaga memulai paparannya dengan pernyataan provokatif.
"Demokrasi dalam konteks kapitalis tidak ada kesetaraan," ucapnya.
Menurutnya, sistem ekonomi yang berlaku saat ini menciptakan disparitas yang signifikan, menghalangi terwujudnya kesetaraan sejati, termasuk bagi perempuan.
Ia menekankan bahwa dalam struktur ini, suara-suara minoritas seringkali tidak memiliki ruang yang cukup untuk didengar.
“Artinya, ruang itu dibentuk oleh kumpulan orang yang tidak bisa bersuara," tegasnya, mengindikasikan adanya batasan akses dan partisipasi bagi kelompok-kelompok tertentu.
Lebih lanjut, Hariati Sinaga secara khusus menyoroti peran ibu rumah tangga yang seringkali diremehkan, padahal kontribusinya sangat fundamental bagi perekonomian.
Baca Juga: Perempuan Masih Jadi Objek Politik? Kritik Pedas Mahasiswi untuk Demokrasi Indonesia
"Ibu rumah tangga itu tidak hanya, justru kalau tidak ada ibu rumah tangga tidak berjalan ekonomi kita," ujarnya, menyoroti bahwa pekerjaan domestik yang dilakukan ibu rumah tangga merupakan tulang punggung yang memungkinkan roda ekonomi berputar.
Ia juga mengkritik kondisi pekerja di sektor formal, termasuk di lingkungan kampus, yang menurutnya masih jauh dari ideal.
"Saya bekerja di kampus, dengan biaya UKT yang malah belum tentu pekerja kampus itu dibayar dengan baik," ungkapnya, menggambarkan realitas ketidakadilan upah yang dialami banyak pekerja, termasuk perempuan.
Dalam konteks pekerjaan dan karier, Hariati Sinaga juga menyoroti hambatan yang dihadapi pekerja perempuan.
"Pekerja perempuan juga mendapatkan hambatan dari mengembangkan karirnya," katanya.
Ia menambahkan bahwa di sektor-sektor yang dianggap minoritas, ketimpangan gender sangat kentara.
"Bahwa yang di sektor yang dianggap minor, itu ada ketimpangan gender juga," imbuhnya, menekankan perlunya perhatian lebih terhadap isu ini.
![Dosen di program studi kajian gender, SKSG UI, Hariati Sinaga, dalam diskusi Perempuan & Ibu, Suara Setara untuk Demokrasi di Jakarta, Selasa (30/9/2025). [Suara.com/Safelia Putri]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/01/82249-dosen-di-program-studi-kajian-gender-sksg-ui-hariati-sinaga.jpg)
Menanggapi tantangan tersebut, Hariati Sinaga mendorong perempuan untuk tidak hanya mengandalkan jalur pekerjaan tradisional.
"Kita tidak bisa mengandalkan dari bekerja tradisional, tapi bekerja membangun jaringan-jaringan," sarannya, menggarisbawahi pentingnya kolaborasi dan koneksi untuk mencapai kemajuan.
Pada akhir paparannya, Hariati Sinaga menyerukan pentingnya partisipasi aktif semua lapisan masyarakat, khususnya ibu-ibu, dalam perjuangan kesetaraan.
"Semua kelas, itu tidak harus laki-laki, tapi bisa ibu-ibu," katanya, menyiratkan bahwa perempuan memiliki kapasitas dan hak yang sama untuk memimpin dan berkontribusi.
Ia juga menegaskan prinsip dasar demokrasi, "Karena kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia."
Dengan semangat tersebut, Hariati Sinaga mengajak semua pihak untuk bersatu.
"Bagaimana kita bersama-sama memperjuangkan kesetaraan ini," pungkasnya, dengan ajakan untuk aksi kolektif demi terwujudnya demokrasi yang setara dan inklusif.
Reporter: Safelia Putri