- Paulus Tannos mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan atas penahanan dirinya sejak awal tahun lalu oleh otoritas Singapura terkait korupsi e-KTP.
- Kuasa hukum Paulus menduga penetapan tersangka tidak sah karena surat penangkapan tidak ditandatangani penyidik, melanggar UU KPK terbaru.
- Permohonan juga menyoroti tidak lengkapnya alamat dan tempat pemeriksaan pada surat penangkapan, serta durasi penahanan yang melebihi batas.
Suara.com - Tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP, Paulus Tannos, mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Praperadilan yang dilakukan Paulus, lantaran dirinya ditahan oleh otoritas Singapura sejak awal tahun lalu, terkait perkara rasuah tersebut.
Kuasa hukum Paulus, Damian Agata Yuvens, mengatakan jika permohonan praperadilan ini dilakukan lantaran menganggap penetapan tersangka terhadap kliennya tidak sah.
“Objek praperadilan tidak sah karena tidak ditandatangani oleh penyidik,” kata Damian, dalam ruang sidang PN Jakarta Selatan, Senin (24/11/2025).
Damian menuturkan jika penangkapan, termasuk untuk membuat surat perintah penangkapan ada pada tangan penyidik.
Sementara, surat penangkapan terhadap kliennya, kata Damian, ditandatangani oleh wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron.
Damian menjelaskan, jika merujuk pada UU nomor 19 tahun 2019, atas perubahan UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, berisi jika Pimpinan KPK termasuk Wakil Ketua tidak lagi berkedudukan sebagai penyidik dan penuntut umum.
“Dengan dihapuskannya ketentuan di atas, maka demi hukum, sejak tanggal 17 Oktober 2019, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk Wakil Ketua, bukanlah penyidik,” jelasnya.
Kemudian, alasan lain yang membuat Damian menganggap penetapan tersangka kliennya tidak sah yakni karena dalam surat penahanan tidak mencantumkan alamat Paulus secara lengkap dan benar.
Baca Juga: KPK Digugat Praperadilan! Ada Apa dengan Penghentian Kasus Korupsi Kuota Haji Pejabat Kemenag?
Dalam pasal tersebut berbunyi, jika pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Selain itu, Damian juga menyampaikan dalam permohonan praperadilan lantaran pihak KPK tidak mencantumkan tempat pemeriksaan. Hal itu juga juga dianggap bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) KUHAP.
“Tempat pemeriksaan ini harus disebutkan karena akan menjadi tolak ukur penghitungan waktu dimulai dan berakhirnya penangkapan. Tanpa adanya tempat pemeriksaan, maka menjadi tidak mungkin untuk menghitung kapan dimulainya dan kapan berakhirnya waktu penangkapan,” ucapnya.
“Faktanya, jangankan menyebut terang di tempat mana pemeriksaan dilakukan, bahkan tidak membuat kolom guna menuliskan tempat di mana pemohon diperiksa,” imbuhnya.
Permohonan soal praperadilan terhadap Paulus juga merujuk soal kurangnya alat bukti permulaan sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 17 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Selanjutnya, dalam permohonannya, Damian juga menyebut jika tidak sahnya penangkapan terhadap Paulus terkait dengan batas waktu penangkapan yang hanya satu hari.