- Jenazah diplomat Arya Daru Pangayunan ditemukan tak bernyawa di Jakarta pada 8 Juli 2025, memicu penyelidikan dengan 24 saksi.
- Polisi menyimpulkan kematian korban adalah bunuh diri berdasarkan autopsi dan jejak digital, namun keluarga menolak karena temuan fisik.
- Polemik timbul akibat kegagalan komunikasi antara nalar hukum polisi dan harapan keluarga korban mengenai bukti kematian.
Suara.com - Empat bulan lebih telah berlalu sejak diplomat muda Kementerian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan (39), ditemukan tak bernyawa di kamar kosnya di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.
Namun, alih-alih mendapatkan kepastian, keluarga Arya justru masih terjebak dalam labirin pertanyaan: apa penyebab sesungguhnya di balik kematian korban.
PENEMUAN jenazah dengan wajah terlakban pada 8 Juli 2025 lalu itu sejak awal memicu kegemparan. Kasus kematian Arya menjadi perhatian publik lantaran banyak spekulasi liar yang beredar sebelum polisi merampungkan penyelidikan.
Selama tiga pekan penyelidikan, polisi telah memeriksa 24 saksi dan 103 barang bukti. Saksi-saksi yang diperiksa di antaranya merupakan orang terdekat yang berada di lingkaran kehidupan Arya, seperti istri, penjaga indekos, hingga dua rekan kerja korban di Kementerian Luar Negeri RI: Vara dan Dion.
Berdasar pantauan Suara.com sejumlah barang bukti turut ditampilkan penyelidik saat konferensi pers di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Jakarta, pada 29 Juli 2025.
Selain lakban kuning yang dipakai korban untuk melilit kepalanya, terdapat pula barang mencolok lain, seperti alat kontrasepsi atau kondom berikut pelumas merek Vivo.
Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra mengumumkan Arya meninggal dunia “tanpa keterlibatan orang lain”. Kesimpulan itu diambil berdasarkan hasil autopsi dan penyelidikan secara scientific.
“Indikator kematian ADP mengarah pada meninggal tanpa keterlibatan orang lain,” ungkap Wira.
Namun, kesimpulan itu hingga detik ini ditolak keras oleh pihak keluarga.
Baca Juga: Sebut Polisi Penjaga Supremasi Sipil, Direktur RPI: Ada Hubungan Erat dengan Masyarakat
Kesimpulan Bunuh Diri vs Kejanggalan Fisik
Konflik utama dalam kasus ini bermula dari perbedaan tajam antara kesimpulan penyelidik dan temuan fisik yang dilihat keluarga.
Pihak kepolisian, melalui Polda Metro Jaya, cenderung menyimpulkan kematian ini sebagai bunuh diri alias meninggal dunia tanpa keterlibatan orang lain.
Narasi ini diperkuat oleh hasil pemeriksaan forensik digital terhadap perangkat milik Arya, yang diketahui bahwa keinginan bunuh diri itu sudah muncul sejak 2013 atau lebih dari satu dekade lalu.
Anggota Ditsiber Polda Metro Jaya, Ipda Saji Purwanto mengatakan jejak digital tersebut diperoleh dari beberapa perangkat elektronik korban, mulai dari laptop DELL, MacBook Air, hingga ponsel Samsung Note 9.
Dari penelusuran itu juga ditemukan riwayat komunikasi antara dua akun email, yakni [email protected] yang diduga milik Arya dengan [email protected]. Isi komunikasi tersebut menunjukkan bahwa sejak 2013 Arya sudah memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya.
Dalam riwayat komunikasi itu, Arya juga disebut pernah berhubungan dengan Samaritans — sebuah badan amal yang terdaftar di Inggris dan Irlandia yang memberikan dukungan emosional rahasia bagi orang-orang yang mengalami depresi dan putus asa, termasuk mereka yang berisiko bunuh diri.
Sementara, keluarga menolak mentah-mentah narasi tersebut. Bagi mereka, kondisi fisik jenazah "berteriak" sebaliknya. Adanya lilitan lakban di wajah, luka memar di leher dan pelipis, serta temuan empat sidik jari di lakban —tiga di antaranya belum teridentifikasi—menjadi dasar keluarga meyakini adanya tindak pidana atau keterlibatan pihak lain.
Ketidakpastian ini menciptakan ruang kosong yang menyakitkan. Ketika polisi mengatakan Arya meninggal dunia tanpa keterlibatan orang lain, sementara mata keluarga melihat tanda kekerasan, tanpa adanya penjelasan jembatan yang memadai, maka benih ketidakpercayaan mulai tumbuh.
Krisis Komunikasi Antara Polisi dan Keluarga
Poin paling krusial dari kasus Arya adalah bagaimana keluarga merasa diposisikan sebagai "orang luar" dalam penyelidikan kematian anggota keluarga mereka sendiri.
Kuasa hukum keluarga, Nicholay Aprilindo, berulang kali menyuarakan rasa frustrasi karena minimnya transparansi. Salah satunya soal informasi krusial seperti riwayat check-in hotel dengan Vara yang baru dibuka secara gamblang kepada perwakilan keluarga dalam audiensi yang digelar 26 November 2025 kemarin.
“Tapi tidak diketahui pasti check-in ini untuk apa dan untuk siapa? Yang jelas dikatakan itu bersama seorang wanita bernama Vara. Makanya kami minta untuk diperdalam pemeriksaan terhadap Vara,” tegas Nicholay.
Nicholay menilai polisi selama ini selalu berlindung di balik alasan "privasi" untuk tidak membuka data tersebut. Padahal, bagi keluarga, transparansi—betapapun pahitnya fakta tersebut—jauh lebih berharga daripada perlindungan privasi yang justru memicu tanda tanya.
Penolakan keluarga ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa sering terjadi jurang perbedaan (gap) yang lebar antara kesimpulan polisi dengan keyakinan keluarga dalam kasus kematian tak wajar?
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, membedah fenomena ini. Menurutnya, persoalan ini bukan sekadar masalah teknis forensik, melainkan adanya kegagalan komunikasi dalam menjembatani "nalar hukum" dengan "nalar publik".

Benturan antara Harapan vs Scientific Crime Investigation
Menurut Bambang, akar masalah dari ketidakpercayaan keluarga bermula dari perbedaan landasan berpikir. Keluarga korban, yang sedang berduka, seringkali memiliki asumsi dan harapan yang didasarkan pada pengenalan mereka terhadap karakter korban.
Namun, kepolisian bekerja dengan metode Scientific Crime Investigation (SCI).
“Kepolisian bekerja mencari alat bukti—baik forensik, autopsi, maupun keterangan saksi—untuk menelusuri penyebab hilangnya nyawa. Alat bukti ini tidak bisa dipaksakan untuk menyesuaikan dengan asumsi atau harapan ahli waris,” ujar Bambang kepada Suara.com
Dalam kasus Arya, Bambang menilai polisi kesulitan atau memang tidak menemukan alat bukti fisik yang menunjukkan kehadiran orang lain di lokasi kejadian (TKP) saat kematian terjadi. Tanpa bukti tersebut, secara hukum, kesimpulan mengarah pada tindakan bunuh diri atau kecelakaan tunggal.
Poin krusial lainnya yang sering menjadi perdebatan adalah soal motif. Keluarga mungkin merasa Arya tidak memiliki alasan (motif) untuk bunuh diri. Namun, Bambang menekankan pentingnya memisahkan antara penyebab kematian (modus) dengan alasan di baliknya (motif).
“Penyebab kematian itu bicara fakta teknis: apakah karena kesengajaan diri sendiri, kecelakaan, atau dibunuh orang lain. Sementara motif itu berkaitan dengan psikologi yang sangat subjektif dan luas,” jelasnya.
Bambang juga menegaskan bahwa motif tidak bisa menjadi alat bukti utama di pengadilan untuk membuktikan pembunuhan jika tidak didukung bukti forensik.
“Kalau hanya sekadar motif, itu tidak bisa membuka kasus, karena motif itu sangat banyak dan tidak bisa menjadi alat bukti langsung,” tambahnya.
Kegagalan Menerjemahkan Bahasa Hukum
Bambang menyetujui bahwa polemik ini juga dipicu oleh kegagalan polisi dalam menerjemahkan bahasa teknis penyidikan agar dapat diterima secara logika dan emosional oleh keluarga.
Nalar hukum menurutnya seringkali tidak sama dengan nalar publik atau public reasoning. Hal ini yang kemudian disebutnya serinya membuat perbedaan persepsi.
“Bahkan, di internal kepolisian pun kadang ada yang tidak sepenuhnya memahami bahasa hukum di level tertentu, apalagi masyarakat awam,” ungkap Bambang.
Akibatnya, istilah seperti "mati tanpa keterlibatan pihak lain" terdengar dingin dan membingungkan bagi keluarga, padahal itu adalah terminologi hukum berdasarkan ketiadaan jejak pihak ketiga di TKP.
Evaluasi Komunikasi Publik: Perlukah Unit Khusus?
Berkaca dari negara maju seperti Inggris yang memiliki Family Liaison Officer (FLO) untuk mendampingi keluarga korban, Bambang menilai Indonesia memiliki konteks berbeda.
Polri sebenarnya sudah memiliki unit serupa, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Unit-unit ini seharusnya dimaksimalkan untuk kasus kekerasan yang mengarah pada tindak pidana.
Namun, Bambang menilai polisi tidak perlu melebar menjadi konsultan masalah rumah tangga atau psikolog keluarga secara umum, karena itu ranah lembaga sosial lain. Sementara yang mendesak untuk dibenahi saat ini menurutnya adalah kualitas komunikasi publik para penyidik dan penyelidik.
“Polisi harus bisa menjelaskan secara detail dan logis hubungan antara nalar hukum dengan nalar publik agar tidak memunculkan salah persepsi,” tegas Bambang.
Ke depan, Bambang mengingatkan transparansi bukan hanya soal membuka data, tetapi juga kemampuan menjelaskan mengapa data tersebut menghasilkan kesimpulan tertentu, dengan bahasa yang manusiawi dan mudah dipahami oleh keluarga yang sedang berduka.

Bagaimana Polisi Menjawab Keraguan Keluarga Korban?
Salah satu poin protes keluarga adalah minimnya temuan sidik jari di lokasi. Menanggapi hal ini, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto memberikan penjelasan teknis.
Budi mengakui bahwa dari tiga temuan sidik jari, hanya satu yang dapat diidentifikasi, sementara dua lainnya rusak karena faktor cuaca atau kondisi permukaan. Terkait keraguan keluarga soal sidik jari di sprei dan bantal, Budi menyebut ada kendala sifat benda.
Menurut Budi, ada keilmuan dalam pengambilan sidik jari. Di permukaan yang padat dan tidak berpori, proses pengambilan sidik jari akan lebih mudah.
"(Sprei dan bantal berpori), tetapi ada teknik-teknik lain yang bisa kita terapkan dan sejauh ini sudah dilakukan secara maksimal,” jelas Budi di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (28/11/2025).
Sedangkan untuk menanggapi desakan pemeriksaan terhadap sosok Vara dan motif di baliknya, Budi menyiratkan adanya temuan sensitif yang menyangkut privasi almarhum. Polisi kini berhati-hati agar pengungkapan fakta tidak justru mempermalukan atau membuka aib almarhum di hadapan publik.
Budi berpegang pada prinsip adanya informasi-informasi yang harus dijaga polisi, terlebih yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
"Apakah kita akan menjadi orang yang selalu mengungkap aibnya orang lain? Ini harus kita jaga bersama,” ungkap Budi.
Polda Metro Jaya juga berencana mengubah pendekatan komunikasi. Budi menyatakan pihaknya akan berkoordinasi langsung dengan keluarga inti (istri dan orang tua), bukan hanya perwakilan hukum, untuk menyampaikan temuan-temuan sensitif tersebut secara privat.
Langkah ini diharapkan dapat menjembatani jurang ketidakpercayaan yang selama ini terjadi, sekaligus memastikan keluarga mendapatkan kebenaran tanpa harus mengorbankan kehormatan almarhum di ruang publik.
“Apakah keluarga inti sudah siap menerima temuan dari penyidik? Karena istri dan orang tua sedang sakit, kami akan komunikasikan apakah penyidik yang ke sana menjelaskan atau keluarga yang datang. Ini demi menjaga privasi,” tutup Budi.