- Restorasi mangrove intensif Filipina gagal karena bibit ditanam di lokasi salah, mengabaikan kebutuhan biologis ekosistem.
- Hutan mangrove hasil penanaman sering memiliki struktur sederhana, gagal beregenerasi alami, dan minim fungsi ekologis penting.
- Pelajaran utama adalah memprioritaskan pemahaman sains zonasi, memulihkan hidrologi, dan kebijakan pendukung restorasi ekologis.
Suara.com - Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, restorasi mangrove menjadi harapan bagi banyak negara pesisir. Namun, pengalaman pahit dari Filipina menunjukkan bahwa menanam jutaan bibit saja tidak cukup. Sebuah studi mengungkap bahwa salah satu upaya restorasi mangrove paling intensif di dunia justru gagal, meninggalkan pelajaran berharga bagi Indonesia dan negara lain: memahami ekosistem adalah kunci sebelum bertindak.
Selama satu abad terakhir, Filipina telah kehilangan hampir tiga perempat hutan mangrovenya akibat alih fungsi lahan menjadi tambak dan area pembangunan. Merespons kerusakan ini, berbagai kelompok konservasi bergerak menanam ratusan juta bibit di lahan seluas 44.000 hektare.
Sayangnya, niat baik ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
Penyebab Kegagalan: Salah Lokasi dan Salah Paham
Ahli biologi Maricar Samson dan Rene Rollon dari University of the Philippines menemukan fakta yang menyedihkan. Dalam jurnal Ambio, mereka melaporkan bahwa survei di lebih dari 70 lokasi restorasi menunjukkan pohon-pohon yang ditanam sebagian besar mati, sekarat, atau kerdil.
Masalah utamanya sederhana: bibit ditanam di lokasi yang keliru. Para pegiat restorasi sering kali tidak memahami kebutuhan biologis mangrove dan menanam bibit di dataran lumpur, dataran pasir, atau padang lamun yang tidak dapat mendukung pertumbuhan pohon. Beberapa area kekurangan nutrisi, sementara di tempat lain, bibit dihantam angin kencang dan arus kuat.
"Ketidaktahuan dan keserakahan sering kali berkuasa," ujar Roy "Robin" Lewis III, pakar restorasi mangrove terkemuka, mengomentari fenomena serupa yang terjadi di seluruh dunia.
Lebih buruk lagi, penanaman yang gagal ini terkadang memberikan “pukulan ganda” secara ekologis. Aktivitas restorasi justru mengganggu atau merusak habitat sehat yang sebelumnya tidak bermasalah, seperti padang lamun yang menjadi sumber makanan bagi duyung dan penyu.
Hutan Tanam yang Tak Pernah "Dewasa"
Baca Juga: Pantai Jadi Destinasi: Siapa yang Mendapat Untung, Siapa yang Tersisih?
Kegagalan ini tidak hanya soal bibit yang mati. Studi lain menunjukkan bahwa hutan mangrove hasil penanaman, bahkan yang berusia puluhan tahun, memiliki struktur yang jauh lebih sederhana dibandingkan hutan alami.
Di Pulau Banacon, Filipina, sebuah hutan mangrove buatan yang telah berusia 60 tahun masih kekurangan lapisan bawah yang terdiri dari anakan muda. Hutan ini gagal beregenerasi secara alami dan tidak mampu menarik spesies mangrove lain untuk tumbuh, meskipun sumber benih dari hutan alami di sekitarnya melimpah.
Hasilnya adalah perkebunan monospesifik yang rapuh dan minim fungsi ekologis. Padahal, tujuan utama restorasi adalah meniru sebanyak mungkin karakteristik dan fungsi ekosistem alami, bukan sekadar menanam pohon.
Jalan ke Depan: Menuju Restorasi yang Cerdas dan Berkelanjutan
Pengalaman dari Filipina ini menawarkan tiga pelajaran penting yang sangat relevan bagi Indonesia, negara dengan hutan mangrove terluas di dunia.
1. Memahami Sains Sebelum Menanam
