- FIAN Indonesia mengadakan konferensi pada 9 Desember 2025 mengenai pemenuhan hak pangan dalam kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran.
- FIAN menilai pemerintah lebih fokus pada politik pangan dan stabilitas politik daripada pemenuhan hak dasar rakyat.
- Proyek seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai politis dan belum memiliki landasan regulasi yang kuat.
“Alih-alih memperkuat ketahanan pangan, perwujudan hak atas pangan dan gizi, serta pemulihan hak masyarakat atas sumber agraria yang selama ini dirampas, agenda tersebut justru diterjemahkan dalam dua proyek pangan skala besar, yakni Makan Bergizi Gratis dan Food Estate,” tuturnya.
Bagi FIAN Indonesia, kedua proyek tersebut mencerminkan arah politik pangan yang populis.
“Menurut kami, kedua proyek pangan ini merupakan bukti paling terang dari arah politik pangan saat ini,” tegas Hana.
Ia menilai, melalui proyek-proyek tersebut, pangan direduksi menjadi komoditas populis yang berorientasi pada kalkulasi dan estimasi politik.
Sorotan khusus juga diberikan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai diimplementasikan sejak Januari 2025.
“Sejak diluncurkan pada Januari 2025, meskipun belum genap satu tahun berjalan, kami melihat program MBG seperti menjadi arena pertarungan ambisi politik,” ujarnya.
FIAN Indonesia bahkan mencatat adanya dugaan insiden serius selama pelaksanaan program tersebut.
“Kami merunut pelaksanaannya sejak Januari hingga Oktober 2025 dan menemukan dugaan adanya satu orang meninggal dunia setelah mengonsumsi MBG,” ungkap Hana.
Namun ia menegaskan, kasus tersebut hingga kini masih bersifat dugaan dan belum jelas status hukumnya.
Baca Juga: Kementan Disorot Usai Rincian Bantuan Bencana Viral, Harga Beras Rp60 Ribu/Kg Dinilai Janggal
“Sampai saat ini masih diduga, karena belum jelas bagaimana statusnya,” katanya.
Selain persoalan di lapangan, Hana juga menyoroti lemahnya aspek regulasi program MBG.
“Ketiadaan peraturan pemerintah terkait tata kelola MBG membuat proyek ini hanya berlandaskan petunjuk teknis tanpa konsekuensi hukum yang jelas,” jelasnya.
Lambannya penyusunan perangkat hukum tersebut, lanjut Hana, menempatkan MBG dalam kondisi regulasi yang lemah.
“Hal ini menimbulkan kesan bahwa proyek tersebut lebih diarahkan untuk memenuhi target politik daripada memastikan akuntabilitas dan keberlanjutan kebijakan,” tambahnya.
Menutup pemaparannya, Hana menyimpulkan bahwa program unggulan pemerintah itu belum mampu menjawab persoalan mendasar pemenuhan hak atas pangan dan gizi.