Studi Terbaru Temukan NU Ormas Intoleran, Benar Demikian?

Liberty Jemadu Suara.Com
Jum'at, 03 Juli 2020 | 19:34 WIB
Studi Terbaru Temukan NU Ormas Intoleran, Benar Demikian?
Sebuah studi baru menunjukkan bahwa NU ormas intoleran. Foto: Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menyampaikan pidato kebudayaan saat Harlah ke-91 Nahdlatul Ulama di Jakarta, Selasa (31/1) [Antara/M Agung Rajasa].

Suara.com - Sebuah artikel ilmiah baru melaporkan bahwa pengikut Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki tingkat intoleransi yang sama dengan umat Muslim Indonesia pada umumnya, dan dalam beberapa hal bahkan lebih intoleran.

Artikel tersebut ditulis oleh Marcus Mietzner, pengajar ilmu politik di Australian National University, dan Burhanuddin Muhtadi, dosen ilmu sosial dan politik di UIN Syarif Hidayatullah.

Laporan itu menuai kritik keras, khususnya dari sebagian cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU). NU telah lama mengklaim organisasi ini menopang pluralisme dan toleransi di Indonesia.

Artikel Mietzner dan Muhtadi layak diapresiasi. Artikel ini menunjukkan data kuantitatif tentang sikap keberagamaan pengikut NU yang selama ini belum tersedia.

Meski demikian, analisis keduanya yang menghubungkan data intoleransi pengikut NU dengan perilaku elite tidak sepenuhnya benar. Data survei intoleransi yang disajikan juga belum kuat untuk kepentingan advokasi toleransi di Indonesia.

Temuan dan klaim mitos pluralisme NU

Mietzner dan Muhtadi ringkasnya mengatakan bahwa klaim NU sebagai penopang pluralisme dan toleransi tidak sejalan dengan temuan data survei.

Sepanjang pemilihan umum 2019, NU digambarkan dan mendeklarasikan diri sebagai pembela pluralisme dan toleransi.

Sebaliknya, data Mietzner dan Muhtadi memperlihatkan bahwa sebagian besar pengikut NU intoleran.

Baca Juga: Dibully Warganet, Gus Miftah: Kenapa Islam Nusantara Selalu Diserang?

Keduanya menggunakan data survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada September 2019. Survei ini mewawancarai 1.520 responden dengan pemilihan responden secara acak bertingkat.

Selain survei tersebut, mereka juga membandingkan dengan data survei dari lembaga yang sama tahun 2010, 2016, dan 2018.

Menurut data LSI, baik pada aspek kultur maupun politik, intoleransi beragama di Indonesia meningkat sejak 2017.

Pada 2017, keberatan terhadap pendirian rumah ibadah non-Islam tercatat 48%, lalu pada 2018 dan 2019 naik menjadi 52% dan 53%.

Data LSI dari responden yang mengaku pengikut NU menunjukkan tren serupa. Tingkat intoleransi di tubuh NU juga menguat setelah 2017.

Tahun 2017 menjadi catatan penting dalam dinamika intoleransi di Indonesia. Pada tahun itu, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, seorang Kristen keturunan Cina, dihukum penjara dengan tuduhan penistaan agama dan gagal untuk duduk kembali sebagai gubernur Jakarta.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI