Bentuk lelang konvensional yang membuat pemenang lelang mendapatkan barang dan jasa dengan harga yang terlalu tinggi telah membuat dampak buruk.
Contohnya seperti lelang penjualan frekuensi yang digunakan untuk koneksi 4G atau teknologi generasi ke empat untuk layanan seluler internet berkecepatan tinggi secara nirkabel di Indonesia.
Lelang ini berjalan dengan berbagai perusahaan telekomunikasi menawarkan harga tertinggi kepada pemerintah. Sebagai gambaran tingginya harga frekuensi karena lelang, pada tahun 2017 lalu PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) membayar Rp 1 triliun untuk frekuensi 2,3 Ghz, 175% lebih mahal dari harga awal pemerintah yang hanya Rp 366 miliar.
Karena harganya yang terlalu tinggi, ada beberapa perusahaan pemenang lelang frekuensi yang tidak sanggup membayar kewajibannya.
PT First Media, TBK dan PT Internux (Bolt) punya tunggakan pokok plus denda sampai Rp 708 miliar kepada negara untuk penggunaan frekuensi. Pada akhir November 2018 akhirnya pemerintah meminta Bolt berhenti beroperasi, yang paling dirugikan tentu saja adalah para pelanggannya yang kehilangan layanan yang mereka sudah beli.
Untuk menghindari nasib seperti perusahaan-perusahaan tersebut, pemerintah dan perusahaan swasta perlu memperbaiki model lelang yang telah ada, mengadopsi misalnya metode lelang multi babak secara serentak dari kedua pemenang Nobel Ekonomi tahun ini.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Baca Juga: Daftar Penerima Hadiah Nobel 2020