Kemajuan ada, tapi ya, bergerak di tempat. Artinya, apa yang dirancang untuk membenahi Jakarta bebas dari banjir, salah satu contoh tahap pertama itu adalah normalisasi dan naturalisasi, ternyata dihentikan. Yang kedua, membuat selokan-selokan. Selokan dibuat bagus, kedalamannya bagus dan lebarnya cukup, memiliki daya tampung, akan tetapi dia tidak berpikir bahwa di dekat Tanjung Priok amblesan tetap jalan dan air laut naik. Tidak pernah ada pemikiran yang arahnya ke sana. Mestinya kembali dari dasar, bahwa DKI Jakarta pada tahun 1800, itu memiliki ketinggian di bibir pantai itu lebih dari 3 meter. Sekarang (ketinggian) sama dengan pantainya, bahkan ada yang di bawah.
Jadi, DKI Jakarta kalau mau normal, tidak banjir, harus diuruk (timbun). Berapa ketinggiannya? Ya, minimal 3 meter. Tetapi siapa yang mau nguruk? Gunung mana yang harus dipindahkan? Nah, memang (ada) banyak teori, seperti Belanda membuat dam, (itu) adalah sebuah teori yang memang harus dipraktikkan.
Nah, permasalahan-permasalahan seperti ini yang tidak dibahas secara komprehensif dan secara regional, sehingga bertabrakan antara Pemprov DKI Jakarta dengan KKP, kaitannya dengan reklamasi pantai. Reklamasi pantai dibuat, tetapi daerah-daerah yang kumuh di kawasan Tanjung Priok tidak pernah diperhatikan. Itu sebenarnya.
Kalau menurut saya, DKI Jakarta (harusnya) hentikan membangun mal dan gedung-gedung lain, dan lakukan membuat tandon air. Buat situ-situ atau waduk. Karena apa? Kelapa Gading yang tadinya itu tandon air, sekarang sudah dibangun. Harus ada penggantinya, itu yang harus dilakukan.
Situ-situ itu harus dihidupkan. DKI Jakarta situ cukup banyak, tapi kecil-kecil, ada 48 totalnya. Kalau itu dihidupkan, saya rasa mampu menampung. Situ-situ itu jalan, hanya penampungan, tetapi tidak disalurkan. Nah, kalau di Depok, ada 26 situ. Ternyata situnya ini dibiarin, bahkan terancam untuk diuruk untuk jadi permukiman.
Jadi, yang sudah dilakukan Pemprov DKI sejauh ini, apakah bisa dinilai belum cukup? Apa yang kurang?
Sebenarnya semuanya sudah siap semua (termasuk dalam penanganan banjir, alat dan sebagainya). Bahkan kemarin yang banjir itu disedot pakai branwir (pemadam kebakaran) itu sudah di luar, ibaratnya "gunting untuk memotong pakaian digunakan untuk memotong kawat", kira-kira seperti itu.
Tapi sebenarnya, harus ada penataan ulang. Di DKI Jakarta itu intensitas pemanfaatan ruang yang sudah 90 persen, bagaimana caranya dikurangi menjadi 30 persen. Ya, rumah-rumah kecil itu digabung menjadi apartemen/rusun. Ya, yang ada mereka nggak mau, karena apartemen bukan kepemilikan. Alasannya seperti itu. Padahal Pak Jusuf Kalla sudah menyatakan bahwa rumah kecil-kecil itu (harusnya) menyatu menjadi satu di apartemen, dan akan ada ruang terbuka.

Lantas, seberapa perlukah kerja sama dengan pemerintah daerah lain untuk membenahinya, dan peran Pemerintah Pusat? Ataukah kelihatannya ada masalah selama ini? Dalam hal apa saja terutama?
Baca Juga: Bantah Jokowi soal Banjir Jakarta karena Sampah, Anies: Apa Ada di Bandara?
Nah, sekarang kaitannya dengan pengelolaan DAS (daerah aliran sungai), itu sekarang menurut saya kacau. Kacaunya begini. Dulu satu DAS satu manajemen, sekarang satu DAS diserahkan kepada provinsi dan dibagi-bagi. Contoh Ciliwung, ada Korwil Ciliwung Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan DKI Jakarta. Nah itu, yang tadinya satu DAS satu manajemen, sekarang satu DAS ada empat manajemen. Mengkoordinasikan empat manajemen bukan hal yang mudah, tapi kalau satu manajemen relatif mudah. Itu masalahnya yang kacau. Yang satu manajemen saja belum tuntas, sekarang diubah lagi.
Nah sekarang, nyatanya seperti Jawa Barat, sudah ngeblok masing-masing; Korwil punya bagian minta anggaran, apa yang dikerjakan. Padahal yang namanya DAS itu (melibatkan) hulu, tengah dan hilir. Hulu harus jadi hutan, minimal 30 persen; di tengah harus dijaga, bahwa pemanfaatan ruang harus 30 persen; di hilir juga harus dijaga karena air itu harus cepat ke laut. Tetapi banyak perumahan, tandon airnya tidak efektif, nah itu yang menjadi kendala. Sehingga terus-menerus, seperti Ciliwung yang harusnya air baku air bersih, sekarang airnya tidak bisa dimanfaatkan, karena yang datang itu sampah. Karena dari pinggiran-pinggiran sungai yang ada saluran air membawa sampah.
Bagaimana dengan warga masyarakat, peran apa yang perlu ditekankan? Jika imbauan atau aturan (misal soal sampah) juga belum bisa berjalan maksimal, apa yang bisa memaksimalkannya?
Warga harus waspada, siaga; itu yang harus dilakukan khususnya di daerah yang sering banjir. Dari awal harus mitigasi, dan itu kaitannya dengan RT, RW dan kelurahan harus siap siaga.
Soal aturan sampah, sebenarnya ada warga yang sudah sadar, dan ada warga yang belum sadar. Ini kelihatan sekali. Saya sering lihat kalau berangkat kerja, ada orang naik motor bawa bungkusan sampah, dia mau buang ke mana nggak tahu. Ini ciri orang yang sadar tapi (juga) tidak sadar. Dia sadar rumahnya agar bersih, tapi dia nggak sadar kalau buang sampah itu ke sungai berdampak besar.
Harus dilakukan sosialisasi. Kalau sudah sosialisasi tetap tidak berubah, menurut saya perlu ada penegakan aturan yang tegas dan tindakan yang tegas. Contoh di Singapura, ketahuan orang yang buang sampah sembarangan, hari pertama diperingati, dia didata. Begitu ketahuan lagi orang itu buang sampah sembarangan, maka dia dikurung. Begitu yang ketiga ketahuan lagi, dia dikasih pakaian tukang sampah dan disuruh bekerja dua hari membersihkan sampah. Dengan begitu orang akan jera.