Jadi bergantung pada potensi di tiap daerah?
Iya, betul
Apakah kita bisa meniru Amerika dalam pengelolaan biomassa energy. Di Kalimantan misalnya banyak wood pallet, atau Sumatera yang banyak cangkang sawit, di Jawa ada produk pertanian. Jadi itu dipakai saja di masing-masing daerah karena kan enggak mungkin bawa pallet wood, misalnya dari Kalimatan ke Papua, itu akan costly.
Betul. Ya kembali itu tantangan di Indonesia. Kembali juga dengan persoalan kebutuhan. Karena seperti tadi saya bilang, biasanya daerah yang banyak resources-nya itu cenderung penduduknya sedikit. Apalagi Indonesia berupa negara kepulauan, jadi itu penuh tantangan.
Kalau saya secara pribadi melihat Indonesia itu kan banyak...sinar matahari banyak sekali. Jadi negara tropis. Solar energy itu dapat diintegrasikan dengan penggunaan biomassa. Misalnya, untuk memproses biomassa kan butuh banyak listrik juga sebetulnya. Nah kalau sebagian listrik di-supply dari tenaga matahari, itu akan lebih dapat membantu. Terutama juga kalo tenaga matahari itu diupayakan sendiri...listrik itu bisa lokal, jadi tidak tergantung pada pembangkit listrik yang besar.
Seperti di Amerika ini...maaf ini saya ngomongnya jadi kemana-mana. Jadi solar energy itu banyak dipakai di perumahan. Seperti saya sekarang. Kalau ada yang mau pake tenaga solar, ada perusahaan-perusahaan yang menawarkan. Jadi mereka bisa memasang. Bahkan pemerintah memberikan insentif, biasanya dari pemotongan pajak, untuk kita menjadi self-sufficient. Bisa menjadi istilahnya off grid (tidak terhubung ke jaringan listrik. Red). Jadi kita menggunakan pembangkit listri sendiri di rumah.
Atap rumah dipasangi solar energy. Itu mulai booming di Amerika. Banyak sekali yang mulai pakai. Cuma mungkin di Indonesia, itu masih mahal. Awalnya sih yang mahal.
Iya, karena instalasinya mahal, tapi setelahnya mungkin listrik jadi lebih murah?
Betul.
Penjelasan Anda bahwa sumber energy biomassa harus di-combine, itu karena biomassa energy, cost productionnya masih tinggi?
Cost production dan juga secara...impact terhadap lingkungan, terhadap masyarakat setempat, kemudian juga teknologinya. Untuk mengkonversi dari biomassa menjadi biofuel itu yang paling penting adalah berapa banyak energy yang diperlukan, yang dipakai untuk memproses itu.
Baca Juga: Wawancara Hadi Pranoto, Anji Ingin Berbagi Kebaikan untuk Masyarakat
Nah, energy-nya itu bisa datang dari non renewable, dari batubara, dari bahan bakar minyak bumi. Kalau rasio dari energy yang dihasilkan terhadap energy non renewable yang dipakai itu rasionya kecil, artinya banyak energy yang dibutuhkan untuk membuat biofuel, berarti itu efisiesnya akan rendah. Berarati mungkin juga kita katakan, ya tidak membantu. Cara untuk renewable itu tidak membantu sebetulnya.
Karena kebutuhan fosil fuel-nya masih lebih besar?
Nah, jadi tantangannya gimana untuk mengecilkannya itu. Makannya saya bilang, mungkin bisa listriknya dari solar energy, itu kan renewable juga. Untuk memproses, pabrik kan membutuhkan panas dan listrik. Nah untuk listriknya itu mungkin bisa gimana caranya supaya tidak tergantung pada non renewable energy.
Kalau seperti itu, biomassa ini bisa enggak diandalkan untuk menjadi sumber energy masa depan yang utama, dibandingkan dengan sumber energy renewable lain seperti solar, angin, geothermal?
Bisa. Tapi tidak 100 persen. Sekarang ini untuk renewable energy, harus biomassa bukan satu-satunya. Jadi kita musti melihat potensi yang lain, apakah dari angin, air, panas bumi. Tiap-tiap sumber energy itu ada kelebihan, ada kekurangannya. Jadi tantangannya, bagaimana untuk mengoptimasi kelebihannya, bagaiman untuk mengurangi kekurangannya.
Jadi tetap ini harus di-combine, tidak bisa berdiri sendiri?
Selama ini kan batubara bisa 80 persen, 100 persen mungin ya..haha... itu karena supply-nya sudah jelas. Supply chain-nya, mulai dari tambang batubara, perusahaanya, itu sudah. Jadi antara PLN dengan pen-supply batubara itu sudah jelas...
SOP nya sudah terbentuk. Baku?
Betul. Karena sama-sama perusahaan besar biasanya kan ya.