Tapi untuk yang gak ditugaskan, PLN kan akan menyesuaikan tentunya. Sebagai perusahaan listrik, dia akan menyesuaikan dengan kebutuhan atau permintaan listrik di daerah yang dia layani. Lalu yang kedua, juga berkaitan dengan harga. Kalau harga listriknya yang dijual terlalu mahal, tentunya akan menaikkan biaya produksi listriknya PLN. Harga pokok produksi listriknya PLN itu akan naik.
Nah, implikasinya adalah kalau tarif listrik tidak disesuaikan, maka pemerintah harus mensubsisi. Sekarang, mau gak pemerintah mensubsidi? Itu kan yang selalu jadi bahasan setiap tahun. Jadi kalau dari sisi PLN, kalau dia membeli sesuatu terlalu mahal, sementara dia gak bisa menjual dengan harga yang sama, ya, saya bisa pastikan PLN juga enggan.
Nah, itu yang terjadi selama ini, kecuali ada mekanisme subsidi. Sehingga memang menjadi tantangan juga bagi pengembangan energi terbarukan untuk bisa membangkitkan listrik dengan harga yang terjangkau. Atau kalau belum bisa, kalau pemerintah punya komitmen untuk meningkatkan energi terbarukan tadi, maka bagaimana memberikan insentif sehingga biayanya bisa turun, sehingga PLN sebagai pembeli, dia tidak harus menanggung kerugian beban dengan adanya biaya atau harga produksi listrik yang lebih tinggi.
Kemarin ada tayangan menarik di CNBC tentang usaha pertanian modern greenhouse yang membeli listrik dari perusahaan listrik swasta yang memproduksi listrik dari geothermal. Kalau model seperti ini, apakah sudah ada di Indonesia? Artinya, listrik dijual ke perusahaan, bukan (ke) masyarakat umum yang daya belinya rendah.
Saya nggak paham yang dimaksud. Jadi, geothermal dibeli oleh siapa?
Jadi ada perusahaan agribisnis modern di Belanda, greenhouse, mereka membeli listrik dari perusahaan swasta. Karena kebutuhan panas dan listrik untuk pendinginan itu besar sekali.
Oh, kalau dia dari panas bumi untuk greenhouse, belum tentu dia beli listrik. Bisa jadi yang dibeli adalah uap panasnya. Karena untuk panas bumi atau geothermal itu bisa pemanfatan langsung berupa panasnya tadi, dan panas itu memang bisa dipakai untuk seperti pertanian. Uap panasnya; jadi bukan listriknya.
Nah, untuk pemanfaatan langsung dari uap panas bumi, itu sudah banyak dilakukan di Indonesia; dan memang secara dasarnya panas bumi juga memungkinkan itu dilakukan. Dan itu bisa dijual oleh pengembang panas bumi. Tapi bukan listrik, melainkan panasnya. Jadi direct use panasnya.
Jadi kalau kasus yang tadi dibilang greenhouse tanaman, saya duga bukan listrik yang dibeli, tapi panasnya.
Baca Juga: Ambisi Elon Musk di Jerman: Tesla Gigafactory Sampai Produksi Vaksin Corona
Menurut tayangan itu, dia mengubah geothermal menjadi listrik, juga untuk menghidupkan AC.
Saya gak tahu... Kalau saya nonton, mungkin saya bisa ngerti konteksnya.
Kalau geothermal di kita, sudah lumayan banyak kan yang diubah menjadi listrik?
Totalnya tadi saya katakan hampir 2.200 megawatt yang sudah terpasang. Entry-nya mencapai 29.000 megawatt. Jadi, banyak, tapi yang baru termanfaatkan kurang dari 10%.
Kalau sumber EBT yang lain, bagaimana pemanfaatannya? Seperti surya misalnya. Di AS katanya sedang booming pemanfaatan tenaga surya di rumah-rumah. Pemerintah bahkan mendorong warga untuk off grid, jadi tidak masuk jaringan tapi menjadi pembangkit sendiri. Untuk itu mereka diberi insentif seperti keringanan pajak dan sebagainya. Bagaimana di Indonesia?
Ya, tidak hanya di Amerika, di banyak negara termasuk di Indonesia pun pemakaian listrik tenaga surya sudah ada. Baik skala kecil yang skala rumahan, maupun yang skala besar. Memang di Indonesia relatif tertinggal dibanding negara lain. Tadi saya katakan, kita hanya kalo gak salah yang tersambung 450-an megawatt. Ya, mungkin totalnya kita tak kurang dari 200 megawatt. Tapi (itu) sudah dipakai juga di Indonesia.