Fabby Tumiwa: Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan Besar, Tapi Tidak Mudah

Sabtu, 05 September 2020 | 07:20 WIB
Fabby Tumiwa: Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan Besar, Tapi Tidak Mudah
Ilustrasi wawancara. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform. [Foto: Dok. IESR / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Rumah saya juga pakai pembangkit listrik tenaga surya, tetapi tidak 100% listrik saya dari surya. Saya hanya menggunakan 30% listrik saya dari surya. Sisanya saya masih menggunakan listrik dari PLN. Tetapi di Indonesia sudah ada peraturan PLN untuk memasang pembangkit listrik tenaga surya dengan menggunakan skema net metering.

Jadi, pelanggan PLN bisa memproduksi listrik dari pembangkit listrik tenaga surya, yang kemudian dijual ke PLN dengan skema net metering. Kemudian pada saat kita butuh listrik, ya kita beli dari PLN. Nanti dengan meter itu bisa dihitung selisih antara kita jual dan kita beli.

Di Indonesia sudah ada, sudah cukup lama. Ya, walaupun peraturan menteri ini baru keluar 2018, tapi potensi energi surya di Indonesia cukup besar. Kalau hitung-hitungan kami, potensinya itu... Jadi kami pernah menghitung, kalau misalnya seluruh rumah di Indonesia pakai pembangkit listrik tenaga surya di atapnya saja dengan menggunakan data, artinya tidak seluruh luasan atap tapi atap yang memungkinkan dipasang panel surya, itu potensinya mencapai 655 gigawatt. Itu besar.

Nah, jadi potensinya besar. Salah satu kendala kalau buat sebagian besar pelanggan PLN saat ini, atau rumah di Indonesia, untuk memasang itu karena biaya investasi awalnya tinggi. Tetapi teknologinya sendiri sudah cukup maju. Tambah murah, tapi memang initial capital cost-nya mahal. Buat rata-rata penghasilan orang Indonesia, ya cukup tinggi.

Tapi untuk jangka panjang, bayar listriknya jadi lebih murah?

Ya, kalau kita menghitung usianya 25 tahun, lifetime-nya 25-30 tahun kita bisa dapat 'listrik gratis'. Ya, hitung-hitungannya murah.

Ya, tapi kan kembali, 25 tahun itu kan manfaat yang didapat. Tapi kalau saya mau pasang, saya harus keluar (uang). Sebagai contoh, rata-rata sekarang untuk 1 KWP (kilowatt-peak) itu kebutuhan investasinya Rp 15 juta - Rp 18 juta. Di Indonesia 1 KWP itu dalam sehari menghasilkan listrik kira-kira 3,5 sampai 4 kwh (kilowatt hour). Kalau sekarang kebutuhan listrik di rumah kita sehari 4 kwh, ya 1 KWP cukup. Tapi kalau lebih dari itu, ya harus lebih besar.

Jadi rata-rata kalau rumah di perkotaan yang konsumsi listrik per harinya antara 10 sampai 15 kwh, ya paling tidak dia harus pasang sekitar 3 - 5 KWP, artinya nilai investasinya itu sampai 50 – 80 juta rupiah untuk sekali pasang.

Ya (pertanyaannya), mau atau tidak orang mengeluarkan 50 - 80 juta rupiah di depan untuk pasang teknologi ini? Begitu kan, pilihannya.

Baca Juga: Ambisi Elon Musk di Jerman: Tesla Gigafactory Sampai Produksi Vaksin Corona

Kalau Mas Fabby sendiri melihat masa depan pengembangan sumber energi baru terbarukan, bagaimana? Apakah target bauran 23% pada 2024 bisa tercapai?

Ya, kalau kita lihat dari, pertama, sumber daya energi terbarukan kan banyak di Indonesia. Kedua, teknologinya semakin kompetitif. Ketiga, saya kira masyarakat kita juga semakin... terhadap dampak lingkungan dari penggunaan energi, sehingga ada kebutuhan untuk berpindah dari energi kotor ke energi bersih, dari energi fosil ke energi terbarukan. Itu kan sudah muncul.

Dan tentunya dari sisi kemampuan dan daya beli, kan Indonesia ini tumbuh. Kita sudah menjadi negara middle income country sekarang. Tadinya low-middle, sekarang sudah menjadi middle-income country, artinya pendapatan masyarakatnya juga kan naik.

Kemudian ada faktor internasional, seperti ancaman perubahan iklim dan sebagainya. Jadi kalau kita melihat semua faktor-faktor itu, energi terbarukan dapat dikembangkan sebesar-besarnya, baik itu dilakukan oleh PLN atau kita sebagai pengguna energi yang memprioritaskan menggunakan energi terbarukan.

Kalau kita melihat berbagai aspek itu, saya kok positif. Saya cenderung optimis (EBT) akan berkembang di Indonesia. Pertanyaannya adalah: seberapa cepat dia akan berkembang? Ini yang susah dijawab, karena ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi.

Tapi, belajar dari pengalaman negara lain, keberhasilan pengembangan energi terbarukan itu sangat bergantung juga dari kebijakan pemerintah. Bagaimana pemerintah memprioritaskan, memberikan stimulus, insentif, memberikan dukungan dan sebagainya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI