Siti Ruhaini Dzuhayatin: Indonesia Model Implementasi HAM di Negara Muslim

Sabtu, 12 September 2020 | 09:26 WIB
Siti Ruhaini Dzuhayatin: Indonesia Model Implementasi HAM di Negara Muslim
Siti Ruhaini Dzuhayatin. [Suara.com / Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Syariah yang ada dalam deklarasi itu sebetulnya adalah sesuatu yang dipikirkan manusia tentang cara hidupnya. Nah, dengan demikian syariah yang ada di situ ada beberapa spektrumnya. Nah, kalau kita mau lihat, spektrumnya sangat sederhana-lah: ini kan ada moderat di sini, ada konservatif di sini, ada yang fundamentalis, konservatif, ada yang liberal. Kira-kira begitu. Maka kita akan mengatakan, bahwa saya waktu itu sampaikan kemungkinan yang bisa kita lakukan adalah bagaimana memediasi dua prinsip universal ini di dalam sebuah perspektif dan pemikiran yang moderat.

Karena sebetulnya masalah hak asasi manusia universal dan Islam itu bukan pada persoalan universal dan Islamnya, tapi spektrumnya ini. Nah, orang-orang Barat itu cenderung melihat HAM itu di dalam satu perspektif sekuler. Sekuler di sini, Islam juga melihat Barat juga begitu. Nah, sebetulnya kemudian yang terjadi clash antara pandangan Barat dan pandangan Islam itu adalah fundamentalismenya.

Para pengamat Barat sering kali melihat human rights itu dengan pandangan-pandangan fundamentalisme sekuler, jadi sangat menafikan kehadiran agama di ruang publik. Nah, ini direspon juga secara fundamental oleh orang-orang Islam, sehingga nggak ketemu. Ketika saya menjadi Ketua Komisi HAM (OKI) ini, saya coba, mari kita untuk ke tengah.

Saya waktu itu bicara dengan parlemen Uni Eropa, saya sampaikan bahwa persoalan yang kita hadapi bukan masalah prinsip. Hak asasi manusia adalah pandangan kita tentang hak asasi manusia, yang sering kali yang muncul itu yang ekstrem, antara fundamentalisme sekuler dan Islamic fundamentalism nggak ketemu.

Tapi kalau Barat mau agak sekuler moderatnya, Islam kita juga moderat, ya wasatiyat di situ. Maka kita ketemu di situ. Artinya, Barat juga harus memahami bahwa masyarakat muslim itu memiliki way of life yang disebut syariah, dan juga orang muslim mengetahui bahwa orang Barat itu mempunyai pandangan apa yang disebut dengan western way of life.

Jadi ada relativisme pandangan, relativisme pandangan dan implementasi HAM. Tetapi yang relatif bukan prinsipnya, jadi cara kita mengimplementasikan itu kita sesuaikan dengan dengan kondisi di sini.

Taruh paling sederhana (soal) hak pendidikan anak laki-laki dan perempuan di situ. Karena di Indonesia kan kita punya pesantren yang itu tidak mungkin pendidikan itu dua-duanya satu kelas laki-laki perempuan kan tidak mungkin, tidak seperti di Barat yang itu mungkin. Tetapi tidak bisa dianggap masyarakat muslim di Indonesia tidak memberikan akses yang sama antara laki-laki dan perempuan. Akses sama diberikan, tapi diimplementasikan berbeda, dipisah laki-laki sendiri perempuan sendiri.

Santri penghafal Al-Qur'an di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an Patuk, Gunungkidul - (ist)
Santri penghafal Al-Qur'an di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an Patuk, Gunungkidul. (Istimewa)

Nah, itu yang saya katakan, pada saat proses modernisasi pandangan keagamaan terutama tentang masalah HAM antara masyarakat muslim dan juga masyarakat Barat, itu akhirnya bisa menjadi satu jembatan yang kita mulai lebih konstruktif lah bicara antara Komisi HAM OKI dengan komisi-komisi HAM yang lain. Karena kita juga banyak punya komisi yang sifatnya regional, ada yang di Uni Eropa, Amerika, Afrika, ASEAN. Asia belum punya sendiri. Jadi itu, saya menganggap itu sebagai satu achievement.

Ketika saya mengatakan bahwa kita bisa lho menjembatani ini, dan Indonesia bisa mengimplementasikan itu dengan sangat baik. Kita tidak menolak konvensi-konvensi internasional, tapi kita bisa mengimplementasikan itu di dalam sebuah pandangan-pandangan yang cukup moderat. Menurut saya, itu meaningful in life.

Baca Juga: Profil Munir, Pejuang HAM yang Dibunuh di Udara

Soal kasus-kasus intoleransi dan keberagamaan yang masih banyak terjadi di Indonesia, menurut Anda apa penyebabnya?

Satu hal yang menurut saya.. sebelum saya menjawab, ada satu hal yang cukup melegakan kita, karena masalah intoleransi itu tidak secara struktural itu dilakukan oleh state, tidak dilakukan oleh pemerintah. Artinya, pemerintah cukup terbuka untuk bisa melindungi ekspresi-ekspresi keagamaan, praktik-praktik keagamaan. Ya, selama itu bersumber, ya artinya dipahami oleh masyarakat, diyakinilah.

Memang kita punya satu pasal di KUHP kita, di pasal 156 a itu yang memang bicara masalah penodaan agama. Ini yang sering kali menjadi isu tersendiri, tetapi secara umum pemerintah sebetulnya sangat terbuka untuk melihat perkembangan-perkembangan pemikiran agama.

Yang pertama adalah pemahaman keagamaan dari masyarakat kita sebetulnya yang terus harus kita tingkatkan ya. Bahwa memang kita dikaruniai oleh Allah ini sunatullah bahwa Indonesia itu menjadi negara cara yang plural beragam dan multikultural ini, ini sudah sunatullah, ini kita sudah terima.

Hanya sekarang masalahnya, sejauh manakah perbedaan-perbedaan dan kebhinnekaan ini menjadi suatu pandangan hidup kita yang sesungguhnya. Sejauh mana kita mampu atau kita mau menerima perbedaan itu di dalam kehidupan kita? Nah, ini pasang surut yang kita lihat. Di satu sisi kita sudah sangat bagus tentang hidup bersama berbeda agama berbeda suku, tetapi di satu masa ini menjadi sesuatu yang sensitif. Tahun 2017 misalnya, itu kan luar biasa.

Tetapi saya selalu menyampaikan juga kepada teman-teman di dalam negeri maupun di luar negeri, secara umum itu lebih kepada persoalan politisasi agama, yang dengan desentralisasi politik maka proses politisasinya sampai bawah. Itu masalahnya. Jadi dengan disentralisasi politik dengan Pilkada yang itu terdesentralisasi. Jadi political interest itu juga menjadi terdesentralisasi, meskipun selalu nanti kalau ada masalah pasti Pak Presiden.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI