Saat menjadi Stafsus, Pak Jokowi selalu minta masukan ke Anda soal masalah keagamaan, soal toleransi di Indonesia?
Ya, memang tugas saya adalah memberikan bahan-bahannya, briefing untuk doorstop (wawancara) dan sebagainya, dan itu terkait dengan persoalan keagamaan, persoalan tentang kaitan antara keagamaan di Indonesia dan internasional. Masalah Rohingya, masalah Uighur, masalah terorisme di New Zealand dan sebagainya, itu tentu menjadi kajian saya dengan tim untuk kemudian kita laporkan kepada Presiden.
Saat Anda terpilih menjadi Komisioner dan kemudian Ketua Komisi HAM OKI dan menjadi orang pertama dari Indonesia, itu bagaimana proses terpilihnya?
Jadi saya masuk itu dinominasikan oleh pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri untuk pemilihan komisioner Komisi Independen Hak Asasi Manusia yang dibentuk oleh Organisasi Kerjasama Islam.
Organisasi Kerjasama Islam ini kan sebuah organisasi politik yang beranggotakan 57 negara dan mereka mempunyai semacam hak suara regional. Kalau (secara) regional sebetulnya lebih luas, karena OKi ini ada di Afrika, Asia, ada di Arab. Jadi dianggap sebagai lembaga regional yang sangat berpengaruh karena ada 57 negara di situ, dan OKI itu termasuk organisasi internasional yang terbesar kedua setelah PBB.
Alhamdulillah, saya terpilih dari kalau tidak salah sekitar.. kalau masing-masing negara itu dua calon, dari 57 (negara) kira-kira hampir ada 100, dan dipilih 18 komisioner saya salah satunya dari Indonesia.
(Itu) Pertama kali dari 2012, dan yang juga sangat mengejutkan pada waktu itu karena secara aklamasi saya dipilih menjadi Ketua. Saya bilang berat sekali dengan 57 negara menangani isu HAM di situ. Tapi teman-teman wartawan waktu, karena kan sesi pertama di Indonesia, teman-teman wartawan, teman-teman Kemlu, Komnas Perempuan (bilang), "Ayo nggak apa-apa Mbak."
Saya pikir begini. Saya secara fisik kan untuk ukuran orang Indonesia kan mungil, apalagi dengan teman-teman dari Arab, dari negara-negara Arab itu bener-bener tinggi besar semuanya dan kita perempuan ada 4 orang. Kadang-kadang juga (mikir), "Ini bisa nggak ya?" Tapi saya sangat confident bahwa pemilihan mereka bukan karena Ruhaini yang mungil, tapi karena "bagasi" saya yang besar yaitu Indonesia.
Saya mengatakan saya punya "bagasi" yang besar (yaitu) Indonesia dengan track record implementasi HAM yang dipandang bisa menjadi model di OKI. Of course kita punya PR tentang masalah penegakan HAM. Tapi terpilihnya saya menjadi ketua yang pertama Komisi ini adalah sebuah pengakuan bahwa Indonesia menjadi model implementasi HAM di negara-negara muslim.
Baca Juga: Profil Munir, Pejuang HAM yang Dibunuh di Udara
Dan dengan bekal itu, maka saya mencoba terus-menerus menengahi ketegangan antara nilai-nilai HAM universal, Universal Declaration of Human Rights misalnya, dengan Islamic Declaration of Human Rights yang masih sering dipertentangkan karena ada isu-isu masalah syariah di situ. Tetapi waktu saya sampaikan di sana begini: kalau kita bicara tentang deklarasi universal Islam tentang hak asasi manusia yang ada aspek syariah di situ, sebetulnya tidak perlu harus dipertentangkan. Karena syariah ini kan, yang disebut syariah di situ kan adalah way of life, cara pandang kita, cara hidup kita; itu yang harus berdasarkan syariah. Dan syariah di situ saya katakan itu sebagai bagian dari human thoughts, jadi sebagai satu pemikiran manusia sehingga ini ada spektrumnya.