Siti Ruhaini Dzuhayatin: Indonesia Model Implementasi HAM di Negara Muslim

Sabtu, 12 September 2020 | 09:26 WIB
Siti Ruhaini Dzuhayatin: Indonesia Model Implementasi HAM di Negara Muslim
Siti Ruhaini Dzuhayatin. [Suara.com / Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Padahal kan dengan desentralisasi, di situ ada kepala daerah, yang mereka juga mempunyai satu teritorial di situ sendiri. Nah, itu memang menjadi sangat rumit. Jadi desentralisasi, dan juga di bidang politik ini ternyata membawa isu agama ke dalam ranah politik, di saat pendidikan atau pemahaman keagamaan kita masih terus-menerus harus ditingkatkan.

Pada masa Orde Baru seolah kita nggak punya masalah, karena di situ kan awalnya memang dikontrol oleh negara atas nama stabilitas. Mau tidak mau itu menjadi sangat sangat, istilahnya sangat top down.

Tapi setelah reformasi kan semua orang ada euforia tentang masalah kebebasan beragama. Nah, ini sering kali dari yang dikontrol hanya melihat mahzab ini saja, agama ini saja. Agama ini pun yg diakui hanya mahzab yang ini kan misalnya.

Nah, proses inilah yang mungkin terus menerus harus ditingkatkan, terus-menerus kita harus melihat bahwa di dalam suatu sunatulllah seperti ini mau tidak mau memang kita akan berdampingan dengan orang yang pandangan Islamnya berbeda, pandangan agama yang berbeda, sukunya berbeda, adat dan cara berpakaian berbeda.

Ini memang perlu terus-menerus dikuatkan oleh semua pihak, bukan hanya pemerintah. Pemerintah sendiri cukup terbuka, dalam arti tidak memberikan batasan-batasan bahwa Kementerian Agama (misalnya) mempunyai regulasi yang boleh hidup di Indonesia ini. Kan tidak demikian ya.

Nah, pada saat itu, di dalam masyarakat memang perlu juga mendapatkan satu ekspos, mendapatkan satu pemahaman bahwa di dalam suatu ruang publik yang kita miliki memang semuanya mempunyai hak. Ya, kebenaran itu pada akhirnya harus juga kita negoisasikan dengan etika-etika publik yang kita miliki.

Nah itu nampaknya jadi PR, dan itu bisa pasang-surut dengan kontestasi politik yang tadi saya sampaikan, bukan hanya di tingkat pusat, bisa di tingkat provinsi, daerah dan di tingkat desa mungkin.

Ini satu PR sebetulnya dari satu, tentu saja negara, dan tentu kedua adalah organisasi Islam dan organisasi agama. Karena di situlah kita dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat, mana yang sebetulnya kepentingan agama, mana yang kepentingan politis. Itu menjadi PR.

Yang ketiga adalah masalah-masalah penegakan hukum. Banyak kritik memang disampaikan kepada pemerintah bahwa ini penegakan hukum masih sangat lemah. Ini juga sangat problematik, karena bagaimana pun para penegak hukum ini kan manusia, yang kadang-kadang mendapatkan tekanan-tekanan.

Baca Juga: Profil Munir, Pejuang HAM yang Dibunuh di Udara

Jadi memang penegakan hukum ini menjadi PR juga ya bagi pemerintah, untuk terus-menerus mendorong kepolisian terutama untuk secara tegas menangani masalah konflik agama ini dari sisi versi kriminalnya. Jadi dari sisi kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang ini mengandung unsur kriminal, apakah kebencian kemudian pengrusakan, penganiayaan, itu kan memang sudah ada dalam sistem hukum kita.

Tapi juga marilah kita dengarkan dari para penegak hukum kita, yang mereka ini sering kali menerima tekanan yang luar biasa dari satu masyarakat, misalnya satu kelompok, yang itu kadang-kadang akan (membuat) sangat sulit untuk bertindak.

Yang harus kita lakukan memang harus ada support dari organisasi-organisasi besar, NU, Muhammadiyah, Persis, kemudian PGI, KWI, kemudian dari Budha misalnya, dari Hindu. Ini kan pasti akan berkelanjutan, bukan hanya Islam, agar penegak hukum ini mempunyai backup sosial, bahwa yang mereka lakukan itu tidak sedang menistakan.

Jadi kan sering kali polisi itu nanti dianggap "ini kok membiarkan", "bisanya membela orang yang menista agama" misalnya. Jadi bukan itu. Jadi yang harus dan akan dilakukan oleh para penegak hukum ini adalah menindak hal-hal yang memang sifatnya adalah pidana, delik pidana, bukan pada masalah agamanya. Bukan masalah bahwa ketika dia menindak yang melakukan pengrusakan atau melakukan penyiksaan itu, polisi melindungi orang yang menistakan, bukan itu.

Masalah penodaan dan menistakan ini kan satu hal yang sangat rumit. Tapi intinya, harus dilihat bahwa ada indikator-indikator mana yang disebut dengan penodaan, dan mana-mana yang disebut dengan perbedaan. Misalnya kalau kita melihat pada komunitas Syiah, maka kita tidak bisa mengatakan mereka menoda agama. Nggak mungkin kan Syiah, Ahmadiyah misalnya, mereka percaya betul itu adalah kebenaran. Perkara kebenaran itu berbeda dengan kita, ya kita terima bahwa itu berbeda. Nanti gimana kalau itu mempengaruhi generasi muda kita misalnya, atau mempengaruhi masyarakat kita? Itu tugasnya kita masing-masing untuk memberikan pengertian. Kalau kita tidak ingin komunitas kita terpengaruh, ya kita harus aktif di dalam masyarakat itu.

Jadi ini memang satu hal yang sangat rumit, dan membutuhkan kerja-kerja yang terus-menerus, bersama-sama, dan kadang-kadang ada setback-nya dan melelahkan. Inilah makanya yang sangat penting.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI