Siti Ruhaini Dzuhayatin: Indonesia Model Implementasi HAM di Negara Muslim

Sabtu, 12 September 2020 | 09:26 WIB
Siti Ruhaini Dzuhayatin: Indonesia Model Implementasi HAM di Negara Muslim
Siti Ruhaini Dzuhayatin. [Suara.com / Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Karena kita tahu, bahwa pada saat ini kan masalah konfliknya dan masalah krisis kemanusiaan itu banyak dipengaruhi --saya sebutkan dipengaruhi tapi kemungkinan tidak semuanya-- disebabkan oleh agama. Tetapi agama kemudian menjadi semacam anchor, sebagai cantolan untuk memantik perselisihan dan juga ketegangan di beberapa negara dengan penduduk muslim, dan pada waktu itu ISIS juga masih sangat kuat sekali kekuatannya untuk masuk ke Suriah, masuk ke Iran. Jadi ini menjadi salah satu dari visi Bapak Presiden, untuk menjadikan Indonesia sebagai model moderasi beragama di tingkat internasional. Itu sebetulnya tugas yang diberikan kepada saya.

Ada bedanya nggak, ketika jadi akademisi dengan ketika menjadi stafsus atau jadi orang dekat di lingkungan Pak Jokowi, dalam kehidupan Anda?

Sebetulnya begini. Yang menurut saya tidak terlalu memberatkan, karena pemerintahan Pak Presiden saat ini sebetulnya satu pemerintahan yang terbuka. Sehingga tidak ada jarak antara fakta yang dilihat oleh akademisi dan juga fakta yang dibuat pemerintah itu dalam banyak hal.

Sehingga saya merasakan tidak terlalu sulit untuk misalnya membingkai isu, karena memang apa yang kita lihat itu yang sebetulnya yang juga dipersepsi oleh beliau dan juga oleh pemerintah. Sehingga saya tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan pandangan saya sebagai akademisi, kemudian pandangan saya sebagai aktivis. Dan isu yang kebetulan saya tangani memang isu yang sudah 6 tahun saya terlibat, ketika saya menjadi komisioner di Komisi HAM Organisasi Kerjasama Islam, satu periode 2012-2014 saya menjadi ketuanya. Sehingga saya melihat ini sebagai suatu cara untuk menyampaikan hal-hal yang ini kaitannya dengan Indonesia.

Jadi saya merasa sangat nyaman, dan beliau tidak ada memesankan sesuatu, karena memang beliau menyerahkan sepenuhnya kepada staf khusus untuk melihat mana yang terbaik bagi Indonesia. Visi beliau adalah kita harus berbuat untuk sesuatu yang baik untuk Indonesia.

Saat menjadi Stafsus, Pak Jokowi selalu minta masukan ke Anda soal masalah keagamaan, soal toleransi di Indonesia?

Ya, memang tugas saya adalah memberikan bahan-bahannya, briefing untuk doorstop (wawancara) dan sebagainya, dan itu terkait dengan persoalan keagamaan, persoalan tentang kaitan antara keagamaan di Indonesia dan internasional. Masalah Rohingya, masalah Uighur, masalah terorisme di New Zealand dan sebagainya, itu tentu menjadi kajian saya dengan tim untuk kemudian kita laporkan kepada Presiden.

Saat Anda terpilih menjadi Komisioner dan kemudian Ketua Komisi HAM OKI dan menjadi orang pertama dari Indonesia, itu bagaimana proses terpilihnya?

Jadi saya masuk itu dinominasikan oleh pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri untuk pemilihan komisioner Komisi Independen Hak Asasi Manusia yang dibentuk oleh Organisasi Kerjasama Islam.

Baca Juga: Profil Munir, Pejuang HAM yang Dibunuh di Udara

Organisasi Kerjasama Islam ini kan sebuah organisasi politik yang beranggotakan 57 negara dan mereka mempunyai semacam hak suara regional. Kalau (secara) regional sebetulnya lebih luas, karena OKi ini ada di Afrika, Asia, ada di Arab. Jadi dianggap sebagai lembaga regional yang sangat berpengaruh karena ada 57 negara di situ, dan OKI itu termasuk organisasi internasional yang terbesar kedua setelah PBB.

Alhamdulillah, saya terpilih dari kalau tidak salah sekitar.. kalau masing-masing negara itu dua calon, dari 57 (negara) kira-kira hampir ada 100, dan dipilih 18 komisioner saya salah satunya dari Indonesia.

(Itu) Pertama kali dari 2012, dan yang juga sangat mengejutkan pada waktu itu karena secara aklamasi saya dipilih menjadi Ketua. Saya bilang berat sekali dengan 57 negara menangani isu HAM di situ. Tapi teman-teman wartawan waktu, karena kan sesi pertama di Indonesia, teman-teman wartawan, teman-teman Kemlu, Komnas Perempuan (bilang), "Ayo nggak apa-apa Mbak."

Saya pikir begini. Saya secara fisik kan untuk ukuran orang Indonesia kan mungil, apalagi dengan teman-teman dari Arab, dari negara-negara Arab itu bener-bener tinggi besar semuanya dan kita perempuan ada 4 orang. Kadang-kadang juga (mikir), "Ini bisa nggak ya?" Tapi saya sangat confident bahwa pemilihan mereka bukan karena Ruhaini yang mungil, tapi karena "bagasi" saya yang besar yaitu Indonesia.

Saya mengatakan saya punya "bagasi" yang besar (yaitu) Indonesia dengan track record implementasi HAM yang dipandang bisa menjadi model di OKI. Of course kita punya PR tentang masalah penegakan HAM. Tapi terpilihnya saya menjadi ketua yang pertama Komisi ini adalah sebuah pengakuan bahwa Indonesia menjadi model implementasi HAM di negara-negara muslim.

Delegasi peserta Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam (KTT LB OKI) kelima melakukan sesi foto di Jakarta Convetion Center, Minggu (6/3). [suara.com/Oke Atmaja]
Delegasi peserta Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam (KTT LB OKI) kelima saat melakukan sesi foto di Jakarta Convetion Center, Minggu (6/3/2016) lalu. [Suara.com / Oke Atmaja]

Dan dengan bekal itu, maka saya mencoba terus-menerus menengahi ketegangan antara nilai-nilai HAM universal, Universal Declaration of Human Rights misalnya, dengan Islamic Declaration of Human Rights yang masih sering dipertentangkan karena ada isu-isu masalah syariah di situ. Tetapi waktu saya sampaikan di sana begini: kalau kita bicara tentang deklarasi universal Islam tentang hak asasi manusia yang ada aspek syariah di situ, sebetulnya tidak perlu harus dipertentangkan. Karena syariah ini kan, yang disebut syariah di situ kan adalah way of life, cara pandang kita, cara hidup kita; itu yang harus berdasarkan syariah. Dan syariah di situ saya katakan itu sebagai bagian dari human thoughts, jadi sebagai satu pemikiran manusia sehingga ini ada spektrumnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI