Sampurno, Eks Kepala BPOM: Rentan, Industri Farmasi Masih Bergantung Impor

Minggu, 20 September 2020 | 04:42 WIB
Sampurno, Eks Kepala BPOM: Rentan, Industri Farmasi Masih Bergantung Impor
Ilustrasi wawancara. Dr Sampurno Apt, MBA, mantan Kepala BPOM. [Suara.com]

Nah, sekarang kan ribut, dimasalahkan, kenapa ada BIN, kenapa ada TNI-AD. Sebetulnya dalam uji klinis siapapun berhak menjadi sponsor. Nah Airlangga gak punya dana, disponsori oleh BIN dan TNI-AD, gak salah. Boleh.

Nah sekarang yang dibantah itu bukannya substansinya.

Saya punya pengalaman yang hampir serupa. Ketika beberapa tahun yang lalu ada obat dari Jepang. Obatnya termasuk obat lama, obat untuk penyakit liver. Obat ini akan didatangkan oleh profesor, ahli liver di Indonesia. Itu ditentang habis-habisan oleh ahli farmatologi.

Kemudian saya undang mereka untuk diskusi. Terjadi diskusi bantah-bantahan seperti anak kecil. Ahli liver tadi mengatakan kepada profesor farmatologi: ‘Anda itu mengobati penyakit orang sakit, pasien liver berapa orang? Dijawab: ‘gak pernah.’ ‘Nah saya tiap hari mengobati itu. Bahkan efektivitas dari obat ini 25%.’ Ahli farmatologi mengatakan: ‘25%?’. Profesor liver tadi mengatakan: ‘25% untuk penyakit liver itu sudah luar biasa karena biasanya [pasien dengan] penyakit liver itu tidak ada yang tertolong.

Ini debat. Akhirnya saya boleh masukkan ke Indonesia. Malah digunakan melalui rumah sakit lewat pengawasan dokter, dievaluasi, dan dimonitor...dan tidak menjadi masalah.

Jadi analoginya seperti itu.

Sebetulnya obat yang dilakukan oleh Unair yang disponsori oleh BIN dan TNI-AD itu bisa diperlakukan seperti itu. Sekarang dipermasalahkan, bagaimana randomisasinya, dsb [rekaman tak terdengar jelas. Red].

Yang kedua, obat standar-nya apa. Jadi bisa dipilah-pilah itu. Jadi hasil yang dilakukan oleh Airlangga tadi kenapa harus mengkritisi secara terbuka. Badan POM sendiri juga mengkritik secara terbuka. Kenapa enggak dibicarakan secara interen, panel ahli di lingkungan itu kemudian yang mengkritisi itu bersama-sama membicarakan, saya yakin akan ada solusinya.

Dan dari pihak-pihak tiga tadi...tidak musti harus diproduksi sendiri. Itu siapa yang memproduksi A, B, C, ...yang lima itu, kumpulin kemudian dibeli oleh tim penanggulangan COVID ini, kemudian digunakan di unit-unit penanggulangan Covid. Tak ada masalah.

Baca Juga: Mengenal Marissa Hutabarat WNI yang Jadi Hakim di Pengadilan AS

Tapi orang kan ribut, ngritik ini, ‘saya akan gugat di pengadilan!’. Ini apa-apaan. Kita ini sekarang hampir 200.000 loh penderita baru di Jakarta, Surabaya, sudah luar biasa. Sementara itu kita berdebat. Saya tanya kepada orang-orang yang mengkritik itu. Apa yang Anda lakukan, penelitian apa yang dilakukan? Enggak ada, katanya: saya hanya partisipasi mengkritik supaya ini sehat. Kalo itu, semua orang juga bisa tapi how to solve the problem, itu menjadi penting.

Jadi jangan mempermasalahkan apakah BIN atau TNI-AD. Itu sponsor doang. Boleh. Siapa pun boleh, perusahaan farmasi juga bisa [jadi] sponsor.

Mereka yang mempermasalahkan itu khawatir soal efektifitas obat. Bagaimana kombinasi obat itu juga belum terang betul.

Ya itu kan bisa dibicarakan dalam satu panel ahli. Kenapa pihak Airlangga dan teman-teman di sana bisa melakukan penelitian ini, dan kalau terbukti efektif, kenapa tidak. Kenapa gak ada semacam pilot project. Katakanlah untuk yang sakit dimana. Misalnya yang dirawat di Kemayoran, pasien yang dirawat dimana gitu.

Sekarang rumah sakit gak nampung loh Bu. Rumah sakti di Jakarta gak menampung, suruh pada di rumah isolasi mandiri karena rumah sakit gak menampung.

Saya ingin contohkan: Filipina itu impor vaksin dari Rusia yang dia baru [uji klinis] tahap kedua. Tapi dipake dan sekarang ternyata vaksin yang diimpor dari Rusia itu banyak dicatat, dimoniter, ternyata efektif.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI