Pertanyaan saya soal industri farmasi kita. Bagaimana sebenarnya kesiapan industri kita, khususnya saat menghadapi pandemi?
Pertanyaan Ibu itu maksudnya kesiapan dalam menghadapi pandemi dalam pengertian menyediakan, memproduksi obat-obat untuk Covid-19, atau kesiapan ketika menghadapi krisis (dengan) adanya pandemi ini? Apa ini yang Ibu maksudkan tadi?
Bisa mulai dulu dari struktur industri farmasi kita secara umum, kemudian dikaitkan dengan keadaan saat ini. Jadi umum dulu, baru secara spesifik membahas Covid-19.
Baik. Ya, sebetulnya industri farmasi kita ini karakteristik yang paling dominan itu adalah ketergantungan dari impor bahan baku obat. Jadi sekitar 90-95% itu bahan bakunya diimpor dari luar negeri.
Ketika kondisi normal, sebetulnya ini tidak terlalu masalah, karena bahan baku itu bisa dengan mudah didapatkan di pasar internasional. Tetapi ketika terjadi pandemi di mana globalisasi menjadi deglobalisasi, maka industri farmasi Indonesia agak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, karena RRC sendiri sebagai pemasok utama bahan baku kita mengalami problem. Dia konsentrasi pada kondisi industri di dalam negerinya.
Demikian juga India. Ternyata India itu juga ada ketergantungan dengan China; yang namanya intermediate substance, bahan baku obat, itu mereka impor dari China... Selain itu kurs dolar (AS) juga meningkat menjadi Rp 15.000.
Perusahaan farmasi memang melihat fenomena ini. Mereka melakukan pembelian cukup banyak, tetapi itu tidak lebih dari 4-5 perusahaan. Selebihnya tidak menyangka akan terjadi kasus seperti ini. Jadi selain dia kesulitan, harganya mahal, juga availabilitas, ketersediaannya juga nggak ada.
Nah, dengan struktur seperti ini, industri farmasi Indonesia sebetulnya rentan. Ini pembelajaran bagi kita. Betapa pun Indonesia itu ke depan harus mempunyai suatu strategic plan atau action plan, bagaimana bisa mengembangkan bahan baku.
Tidak ada negara di dunia ini yang 100 persen mandiri bahan baku. Jepang juga impor, tapi juga ekspor. China, produksinya lebih banyak, tapi dia beberapa juga impor.
Baca Juga: Mengenal Marissa Hutabarat WNI yang Jadi Hakim di Pengadilan AS
Paling tidak, ada beberapa persen yang harus bisa kita produksi di dalam negeri. Tetapi ini tidak mudah. Kan banyak orang mengatakan, "Kita harus mandiri untuk bahan baku sendiri. Harus bisa memproduksi bahan baku sendiri."
Indonesia ini... ini kan kalo bahan baku farmasi dalam pengertian kimia sintetik, itu kan harus bahan dasarnya, intermedia substance-nya itu dari industri petrokimia, Bu.
Nah, Indonesia nggak ada industri petrokimia yang kuat. Beda dengan China. China mempunyai industri petrokimia, sehingga untuk memproduksinya itu dia dari bahan dasar di dalam negeri. Indonesia nggak ada.
Nah ini... ini yang menyebabkan basis industri farmasi di Indonesia itu tidak kuat. Harus ada strategi ke depan mengembangkan bahan baku, tidak harus bertumpu kepada obat kimia sintetik, tetapi juga bisa ke arah biotechnology, ke arah juga produk-produk yang berbasis bahan alam. Tetapi basis bahan alam ini juga harus menggunakan teknologi, apa yang dikenal dengan teknologi refraksinasi.
Inilah struktur industri farmasi kita. Sebetulnya bisa dikatakan industri farmasi Indonesia itu adalah industri substitusi impor, di mana komponen impornya, komponen bahan baku produksi dalam negeri, (itu) komponen impornya masih besar.
Saya beberapa bulan yang lalu, hampir setahun yang lalu, (ikut) diskusi terbatas. Saya tidak... saya hanya mengatakan bahwa kalau misalnya Indonesia itu terembargo oleh China dan India, maka industri farmasi akan lumpuh dalam waktu enam bulan. Karena apa? Persediaan bahan baku stok yang ada di industri itu paling-paling 6 bulan. Jadi setelah 6 bulan. nggak bisa ngapa-ngapain. Nah, itulah fungsi strategis industri farmasi.