Masih tetap ngajar ya, Pak?
Masih, tapi ngajarnya sekarang online. Tidak bisa face to face. Di Gajah Mada [Universitas Gadjah Mada --Red] juga hampir 5 bulan lebih nggak bisa ke sana. Di Jakarta juga ngasih kuliahnya lewat online. Tapi ada sisi positifnya juga lewat online, jadi lebih interaktif.
Ini medianya apa? Beda dengan yang dulu ya?
Iya, beda Pak. Ini media online namanya Suara.com. Baik, kita mulai saja percakapannya ya, Pak.
Boleh. Santai aja ya, Bu.
Pertanyaan saya soal industri farmasi kita. Bagaimana sebenarnya kesiapan industri kita, khususnya saat menghadapi pandemi?
Pertanyaan Ibu itu maksudnya kesiapan dalam menghadapi pandemi dalam pengertian menyediakan, memproduksi obat-obat untuk Covid-19, atau kesiapan ketika menghadapi krisis (dengan) adanya pandemi ini? Apa ini yang Ibu maksudkan tadi?
Bisa mulai dulu dari struktur industri farmasi kita secara umum, kemudian dikaitkan dengan keadaan saat ini. Jadi umum dulu, baru secara spesifik membahas Covid-19.
Baik. Ya, sebetulnya industri farmasi kita ini karakteristik yang paling dominan itu adalah ketergantungan dari impor bahan baku obat. Jadi sekitar 90-95% itu bahan bakunya diimpor dari luar negeri.
Baca Juga: Mengenal Marissa Hutabarat WNI yang Jadi Hakim di Pengadilan AS
Ketika kondisi normal, sebetulnya ini tidak terlalu masalah, karena bahan baku itu bisa dengan mudah didapatkan di pasar internasional. Tetapi ketika terjadi pandemi di mana globalisasi menjadi deglobalisasi, maka industri farmasi Indonesia agak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, karena RRC sendiri sebagai pemasok utama bahan baku kita mengalami problem. Dia konsentrasi pada kondisi industri di dalam negerinya.