Nova Riyanti Yusuf: Pandemic Fatigue Bisa Jadi Hal Serius, Kuncinya di Kita

Selasa, 09 Februari 2021 | 19:42 WIB
Nova Riyanti Yusuf: Pandemic Fatigue Bisa Jadi Hal Serius, Kuncinya di Kita
Ilustrasi wawancara. Praktisi dan ahli kesehatan mental Dr. Nova Riyanti Yusuf. [Foto: Dok. pribadi / Olah gambar: Suara.com]

Suara.com - Sejak muncul di awal 2020 dan kemudian mempengaruhi dunia, pandemi Covid-19 kini sudah berjalan setahun lamanya dan belum ada tanda-tanda menghilang. Wajar jika belakangan pun banyak bermunculan apa yang disebut dengan pandemic fatigue.

Apa itu pandemic fatigue? Istilah ini mungkin terdengar asing bagi sebagian kalangan, tapi sebenarnya kondisi ini justru sedang dialami banyak orang. Secara singkat, pandemic fatigue merupakan kondisi kelelahan fisik dan mental seseorang terhadap pandemi --dalam hal ini pandemi akibat penularan virus corona atau Covid-19.

Pandemic fatigue ini bisa berdampak serius dan mengkhawatirkan, salah satunya karena beriringan dengan sikap atau gaya hidup yang tak peduli lagi terhadap protokol kesehatan. Lantas, bagaimana cara menghadapinya, atau bisakah masing-masing kita terhindar dari pandemic fatigue ini?

Sehubungan topik ini, Suara.com dalam salah satu webinarnya yang bekerja sama dengan Satgas Covid-19, baru-baru ini berbincang khusus dengan salah seorang ahli di bidang kesehatan mental. Dia adalah Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, sosok yang saat ini juga menjabat sebagai Secretary General Asian Federation of Psychiatric Associations.

Berikut petikan perbincangan dengan Noriyu --sapaan akrabnya-- yang ditulis ulang dalam format wawancara tanya-jawab:

Sebetulnya apa yang dimaksud pandemic fatigue?

Ini keluar juga dalam WHO, dan bukan istilah populer saja, tapi WHO juga mencantumkan istilah (ini) resmi dalam panduan mereka. Jadi pandemic fatigue ini adalah sebuah reaksi yang wajar yang akan terjadi pada kesulitan yang berkelanjutan pada masa yang tidak diketahui ini.

Misalnya, apakah vaksin pasti atau enggak? Enggak karena harus tetap 3M. Lalu orang harus berpikir lagi. Akhirnya menjadi hal yang tidak terselesaikan. Dan secara alami orang itu menjadi lelah dengan aturan dan panduan yang harus diikuti untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Kemudian mereka mengekspresikan dirinya dengan demotivasi, pengasingan diri dan ketidakberdayaan.

Mereka merasa tidak berdaya melakukan ini. Di Turki ada sebuah penelitian yang melihat hubungan antara pandemi dan juga tingkat kelelahan psikologis. Hasilnya menunjukkan 64,1 persen mengalami kelelahan psikologis.

Baca Juga: Deasy Nurmalasari: UMKM Tetap Bisa Raup Untung dengan "Go Digital"

Saat ini banyak orang yang sudah merasa lelah, tapi pandemi belum mau pergi. Dan kemudian juga banyak yang mengalami burnout.

Lalu burnout itu apa?

Burnout itu respons psikologis terhadap paparan stres. Bisa kita spesifikkan: stres kerja. Bisa juga kondisi seperti ini (pandemi).

Ada tiga dimensi seorang mengalami burnout. Pertama, kelelahan emosi, hampa, mudah sedih, merasa terbebani. Kemudian ada juga depersonalisasi; biasanya berpikir positif jadi negatif. Ada juga penurunan prestasi pribadi. Hati-hati juga procrastination, bisa jadi itu bentuk wujud dari burnout. Jadi turun kompetensi dan produktivitasnya mengalami penurunan.

Burnout itu tidak melulu karena internal, bisa juga (karena) usia, lalu jenis kelamin, harga diri, karakteristik kepribadian, ekspektasi personal. Tapi pada masa pandemi, ada faktor eksternal tambahan. Ada lockdown, masalah ekonomi, dan infeksi, dan kebijakan lockdown.

Satgas Padat Karya Penanganan COVID-19 Kelurahan Pejaten Barat memasangkan masker kepada warga saat sosialisasi protokol kesehatan di Kelurahan Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (22/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Petugas Satgas Penanganan Covid-19 memasangkan masker kepada warga saat sosialisasi protokol kesehatan di Kelurahan Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (22/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Kalau spesifik, aku lagi meneliti dengan FKM UI --pada 364 (responden) dan belum selesai penelitiannya-- tentang burnout tenaga kesehatan. Nah, yang burnout itu ada 28 responden. Ada yang juga ada gejala fisik yang menemani, itu ada 3 responden. Metode penelitiannya cross sectional dan longitudinal.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI