Bowo Leksono: Ingin Festival Film Purbalingga Kelak Jadi Terminal Karya-karya Bagus

Selasa, 17 Agustus 2021 | 23:14 WIB
Bowo Leksono: Ingin Festival Film Purbalingga Kelak Jadi Terminal Karya-karya Bagus
Ilustrasi wawancara Direktur CLC Purbalingga Bowo Leksono. [Suara.com / Citra Ningsih]

Barulah pada tahun 2006, saya bikin CLC Purbalingga. Awal CLC saya kolaborasi dengan penyedia jasa video pernikahan. Hal itu dilakukan untuk bisa saling mendukung dengan modal yang dimiliki masing masing. Saya punya konsep, mereka punya alat. Di situ terbentuk simbiosis mutualisme. Ketika mereka butuh konsep untuk video dokumentasi pernikahan, saya bisa bantu. Dan sebaliknya, ketika saya ingin membuat film, mereka bisa support saya dengan alat yang saya butuhkan.

Jadi sebetulnya, CLC basic-nya dari para pembuat video manten. Sekarang teknologi begitu cepat berkembang dengan canggihnya.

Jadi, lumayan juga lika-liku perjalanannya, bahkan sejak sebelum didirikan ya? Selanjutnya seperti apa?

Saat ini perkembangan teknologi sangat pesat. Saat itu situasi CLC dibandingkan dengan kota besar. Kami mengalami konflik dengan pemerintah daerah (pemda), saat kami tengah gencar sosialisasi dengan mengadakan nonton bareng film yang dibuat.

Tapi yang pasti, kami merasa jika tidak ada konflik dengan pemda, CLC tidak akan terbangun mentalnya. Saat itu, kami berusaha dan justru mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Hal itu kami jadikan pembuktian kepada pemda bahwa pemerintah pusat saja mau support, masa pemerintah daerahnya sendiri nggak mau.

Di tahun yang sama yaitu 2006, CLC membuat program pemutaran dengan konsep mirip bioskop. Terciptalah gedung yang serupa bioskop dengan dilengkapi pendingin. Tapi ternyata, gedung tersebut untuk rapat dan tamu penting yang datang ke Purbalingga. Pengelola gedung seakan tidak rela ketika gedung akan dimasuki penonton film. Kami diminta untuk rapi dan bersepatu jika hendak masuk gedung. Hal itu konyol dan ribet. Penonton yang berasal dari berbagai kalangan akan kesulitan untuk memenuhi syarat tersebut.

CLC hanya memakai gedung tersebut sebanyak dua kali, yaitu pada bulan Mei dan Juni. Pada bulan Juli, kami sudah dilarang. Peristiwa itu kemudian saya buat film yang kemudian saya benturkan denggan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Purbalingga. Tasdi, mantan bupati, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPRD Purbalingga mengambil peran untuk membela kami.

Kemudian, ia menjabat bupati dan Pak Tasdi juga yang membuka Festival Film Purbalingga untuk pertama kali. Selama ini FFP biasanya dibuka oleh ketua RT atau kepala desa. Saya meminta untuk dibantu dan dia juga mempersilakan para sineas masuk ke pendopo ketika butuh.

Sementara di sisi proses produksi film, kami masih membuat film dokumenter yang mengangkat tema kebudayaan dan tradisi. Tema tersebut memiliki konflik minim dan disadari oleh semua orang. Kemudian saya muncul kesadaran setelah mengalami banyak benturan bahwa ingin membuat film yang dibutuhkan masyarakat.

Film tidak hanya sebatas hiburan tapi juga bisa support masyarakat yang berkonflik. Misal, ada masyarakat yang di-pressure dan wartawan tidak bisa mengangkatnya, nah di situlah karya film bisa dijadikan sarana. Nah, itu yang biasanya dimulai sama anak-anak SMA.

Punya target apa dalam dunia perfilman?

Ke depan kita tidak tahu seperti apa kondisinya, sama seperti yang saat ini sedang kita alami. Yang jelas ketika saya mengenalkan film, saya sampaikan bahwa di film jangan langsung berharap dapat uang. Di komunitas film tujuannya untuk belajar.

Prosesnya selalu menyesuaikan teknologi yang terus berkembang. Dulu siswa yang berprestasi dalam bidang film mendapat tawaran sekolah gratis di sekolah film, tapi belum termasuk dengan uang saku untuk kebutuhan selama pendidikan.

Nah kalau sekarang, siswa yang punya prestasi sudah aman karena selain diberi beasiswa sekolah gratis juga mendapat biaya hidup. Pada saat tahun 2008-2009, saya berharap ada beasiswa untuk film, jadi nggak hanya siswa yang pinter akademik saja yang diberi beasiswa.

Kami punya program layar tancep, yang benar-benar dibunuh dengan kejam oleh Covid-19. Saat itu, layar tancep kami manfaatkan untuk mendapat aspirasi dari masyarakat dari semua kalangan, mulai dari orang tua sampai anak-anak. Waktu itu, geliat karang taruna lagi bagus. Pemda support untuk melihat peran dan kemampuan generasi muda di desa-desa. Hal itu lantaran program desa yang mengimbau agar anak mudanya tidak pergi merantau ke kota besar.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI