Tapi tentu semua kegiatan itu tidak akan ada penonton di Misbar. Keuntungan selajutnya adalah kami bisa mengadakan kategori film favorit dengan sistem voting di program yang sudah kami siapkan. Tidak seperti di tahun sebelumnya, kami hanya bisa menyiarkan film di Youtube tanpa tahu siapa saja yang menonton karena tidak ada interaksi, data dan sebagainya.
Tantangannya menggelar festival tahun ini dibandingkan tahun lalu dan saat normal?
Dalam bidang kami, kata daring atau virtual sudah tidak asing lagi. Di samping film, kami sering ada project yang berurusan dengan teknologi dan sejenisnya. Jadi ketika penyelenggaraan FFP mencoba daring, kami hanya menambah pekerjaan. Jadi, daring dan virtual bukan hal yang baru bagi kami. Ditambah pengalaman tahun 2020 lalu.
Sedangkan untuk FFP daring sepenuhnya besok, kami belum tahu nih, karena ini belum dilalui. Tapi kalau melihat tahun lalu yang semi virtual, kami pikir lebih baik full karena tanggung. Sebelumnya kan separuh-separuh gitu yah, jadi kacau. Dan kami sepakat Covid-19 tidak mungkin hilang, karena itu penyakit. Tinggal persoalan ada di penanganan, perkembangan teknokhogi, pola hidup dan sebagainya.
Jadi kalau dibandingkan dengan saat situasi normal ya satu satunya yang disayangkan cuma program layar tancep. Daerah lain sudah mencoba membuat acara layar tancep dengan cara dan trik yang saya berikan ketika saya jadi pembicara, tapi penerapannya tetap berbeda jauh. Tidak seberhasil layar tancep di Purbalingga, padahal sudah saya kasih tips-nya semua.
Ada situasi yang lucu yaitu, dulu kami mengajak masyarakat untuk nonton layar tancep, kejamnya meminta masyarakat keluar rumah, meninggalkan televisi. Tapi sekarang kebalik, di rumah saja, tonton film di gawai dan laptopmu.
Bagaimana soal biaya? Apakah ada dukungan dari pemerintah?
Pemda memang sudah memberikan jaminan dalam bidang kesenian. Biasanya anggaran akan dibagi bagi, jadi setiap komunitas akan dapat jatah. Dan saya minta FFP harus dapat pokoknya.
Hal itu saya lakukan karena punya alasan yang kuat. Pertama, Kabupaten Purbalingga tidak ada festival yang lahir dari masyarakat. Kemudian alasan berikutnya adalah festival yang tetap berjalan meski tidak ada anggaran dan bukan program pemerintah. Selanjutnya, pengelolanya utuh dan tetap, mestinya festival tetap jalan jika tidak bergantung pada pemerintah.
Ngopeni sing urip lewih abot (Memelihara yang hidup lebih berat biayanya). Jadi banyak sekali festival sebelum pandemi di desa desa, tapi ketika sudah tidak ada anggaran atau dukungan dari pemerintah mereka berhenti, itu artinya program pemerintah. Berbeda dengan FFP yang memang sudah ada dan jalan meski seadanya anggaran.
Kami akan main di level aman ketika tidak ada anggaran. Acara FFP bisa menyesuaikan budget dengan konsep aman misalnya dalam pemilihan juri dan sebagainya. Sementara untuk sponsor kami jarang. Karena kami mementingkan penonton agar tidak terganggu dengan iklan sponsor. Sehingga, kami tidak mencari sponsor melainkan jika ada yang ingin menjadi sponsor kami harus diskusi dulu, jika cocok lanjut jika tidak, lebih baik kami tidak pakai sponsor.
Harapan apa yang diinginkan untuk mendukung FFP di masa yang akan datang?
Kami punya keyakinan bahwa kesulitan itu bermacam-macam akan dilalui. Sistemnya sistematis dan menyesuaikan. Setiap gelaran festival saya ingin untuk dijadikan terminal. Saya punya keinginan, FFP menjadi terminal karya film yang sudah melanglang buana. Jadi bukan film baru yang kemudian langsung masuk ke FFP. Jadi kebalikannya.
Kami ingin bertahan, tapi bukan karena terpaksa. Bukan soal dalam proses membuat karya, tapi juga berkontribusi dalam permasalahan masyarakat yang belum tersentuh oleh media. Dan itu sangat banyak.
Kami sering ngobrol bersama Dosen FIB Unsoed Purwokerto yang bukunya akan kami bedah besok yaitu, Muhammad Taufiqurrohman. Kami mencoba memetakan persoalan, itu bisa dijadikan untuk tema film. Banyak isu di sekitar kita yang bisa dibuat film. Dan ada masalah yang tidak tercium wartawan, itu bisa dibikin film.