Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia: Demi Pendidikan dan Masa Depan Anak

Senin, 03 April 2023 | 09:39 WIB
Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia: Demi Pendidikan dan Masa Depan Anak
Mimin Mintarsih, Pendiri Sanggar Sungai Mulia 5 di Semenanjung Malaysia. [Suara.com]

Memang sangat in struktural kami di akhlak, di moral di akhlak itu sangat luar biasa. Tidak sama dengan awal, karena mereka masuk 9 tahun, 10 tahun, yang awalnya terbiarkan, jadi kami utamakan akhlaknya dulu. Akhlaknya dulu, saya tidak punya pandai, kata saya. Tetapi akhlak dulu, Insha Allah kalo akhlaknya baik itu akan ikut, ke mana itu akan kita ajar. Jadi program saya dari mulai 07.30 pagi, itu kami sudah berkumpul, kita bershalawat, menghafalkan juz amma. 07.40 sholat dhuha berjamaah, sholat hajat berjamaah, istighosah, berdoa bersama sampai pukul 08.00 pagi, senam.

Senam 30 menit, setelah senam baru masuk kelas masing-masing, itu program setiap hari seperti itu. Dan sampe sore, jadi ada jamaah sholat Dzuhur, jamaah sholat Ashar. Setelah sholat ashar barulah mereka pulang sampai sore.

Kenapa mereka ini tidak mempunyai dokumen? Karena orang tua yang banyak adalah menikah di bawah tangan. Sehingga tidak punya surat nikah, risikonya kepada anak. KBRI pun kalau memang tidak ini, bagaimana dia mengesahkan anak orang indonesia dan anak ibu bapak, kan tidak ada, surat nikah.

Dan yang menikah bukan orang Indonesia yang banyak, Bangladesh, Pakistan, Afrika pun ada, kalau masih dibiayai masih mending, kami ditinggalkan pak. Jadi mereka ini tidak ada, orang tua tunggal ya iya seperti itu. Tak pernah pulang ke Bangladesh, yang banyak seperti itu. Jadi ada beberapa anak, malahan tidak tau orang tuanya siapa, di ambil oleh anak angkat, di ambil oleh tetangganya, disekolahkan seperti itu.

Apa saja tantangan terbesar mengajar anak-anak pekerja migran?

Orang tua tunggal, kosongan, harus kerja sembunyi, anak lagi kosong. Jadi kalo sampai pihak kerajaan, tapi memang habislah semuanya. Makanya saya tidak izinkan anak-anak menggunakan pakaian seragam sekolah, jadi pakenya biasa. Jadi tidak diketahui sama sekali oleh pihak polisi. Tapi Insha Allah, selama kita masih menjaga-jaga bersama, sebetulnya tau, pihak kerajaan tahu, pokoknya ada sekolah tahu.

Sebab tiap hari polisi keliling di kawasan rumah saya, tapi tutup mata. Itu untuk pendidikan, saya bukan melindungi, tapi saya memberikan pendidikan. Kendala terbesar adalah kami kekurangan guru pak. Guru ini memang sangat sulit sekali, mula-mula dari para mahasiswa, mahasiswa sekarang S2, ada S3, ada degree, sudah lulus, sudah pulang. Nah sekarang yang baru ini agak susah, akhirnya kami mengambil beberapa penghuni muslimat 1, 2, 3 aman. 4, 5, 6 ini agak berat karena sudah fokus di modul.

Jadi kemarin ketika Sekjen Kementerian Luar Negeri ke Malaysia juga disampaikan, pertama kami mohon legalitas karena sampai sekarang belum ada izin dari pihak Malaysia. Nah kalo sudah ada perizinan, mungkin seperti di LC Serawak, kita boleh pakai seragam sekolahnya, nah itu. Tapi kan masih belum punya legalitas, anak-anak masih menggunakan pakaian bebas seperti biasa.

Dari sisi biaya, dari mana saja Anda mendapatkannya?

Baca Juga: Kisah Malaysia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 1997, Hancur Lebur, Gugur di Fase Grup

Nah karena kami tidak ada biaya dari mana-mana pun, donatur tidak, KBRI tidak, akhirnya dikenakan iuran untuk anak-anak. Iuran itu untuk menyewa gedung, saya nyewa gedung pak, 1 gedung tu rumah tingkat, Rp 6 juta. Kemudian ada santri jauh, kami sewakan juga, sekitar 800 ringgit Malaysia dalam Rp 2 juta, itu untuk sewa. Kemudian lapangan, untuk senam anak-anak apa juga kami sewa. Guru-guru juga kami berikan inspektifnya, seperti itu. Jadi uang itulah kami kelola pak, uang dari iuran anak-anak.

Kurikulum apa yang digunakan dalam pembelajaran?

Indonesia, standarnya semua di Indonesia. Dan yang itunya adalah pihak kedutaan, pihak sekolah kedutaan. Jadi yang dibantu oleh pihak sekolah kedutaan, ijazah, kemudian ketika anak pulang ke Indonesia surat keterangan, kemudian modul. Dari pihak KBRI, surat keterangan lahir dan paspor SPLP. Surat keterangan lahir dapet, SPLP dapet. Nanti ketika anak pulang ke Indonesia itu akan tukar kepada akta kelahiran, seperti itu. Dan anak yang menurut saya ini, yatim dan tidak mampu gratis. Jadi yang mampu saja bayar.

Apa ide awal Ibu bisa mendirikan sekolah ini?

Awal ceritanya, saya dan suami pak dari mulai suami masuk Malaysia tahun 1985, itu sudah mengajar. Mengajar anak malaysia, anak siapa pun kita ngajar. Terus saya masuk 1994 ke Malaysia juga sama mengajar. Nah pada sekitar 2006 atau 2008, mulailah anaknya warga asing itu disuruh tukar kembali surat akte kelahirannya ke Jabatan Pendaftaran Negara.

Dari situ banyak sekali yang asalnya warga negara Malaysia ditukar kepada bukan warga negara Malaysia. Ketika Abdullah Ahmad Badawi memerintah, otomatis anak yang bukan warga negara Malaysia tidak boleh ikut ujian. Dari 2006 pun sudah banyak yang tidak sekolah. Cuma ketika itu saya tidak mempunyai peluang bagaimana sih untuk membuat non formal gitu. Berangkat dari murid-murid saya yang tidak bisa sekolah, berangkat dari situ.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI