Suara.com - Pengalaman bekerja 24 jam nonstop di sebuah perusahaan telekomunikasi sempat membuat Ferry Fibriandani merasa kelelahan, bukan hanya fisik tapi juga mental. Dalam hari-hari tertentu bahkan ia sempat hanya punya waktu tidur dua hingga tiga jam per hari.
Rutinitas itu sempat ia jalani selama kurang lebih empat tahun. Hingga akhirnya ia merasa bahwa rutinitas yang demikian mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya. Terlebih, kesadaran kesehatan mental di kalangan pekerja saat itu masih sangat rendah.
"Sampai di 2007 saya menghadapi tekanan yang tinggi, saya harus melepas 1000 pekerja di departemen saya yang rasanya waktu itu kurang pas dengan keinginan saya. Namun, karena pekerjaan harus dijalankan," ujar Ferry Fibriandani saat wawancara khusus dengan Suara.com.

Alhasil, lelaki lulusan Teknik Industri Telkom University ini mesti mencari solusi untuk kesehatan mentalnya sendiri. Tapi siapa sangka, pencarian untuk memperbaiki well being dan kesehatan mentalnya justru mengarahkannya untuk punya kepedulian terhadap kesehatan mental para pekerja.
Hingga pada tahun 2012 ia akhirnya mendirikan Rumah Remedi Indonesia, sebuah pusat meditasi yang fokus pada kesejahteraan dan kesehatan mental personal maupun para pekerja di korporasi.
Lantas bagaimana perjalanan Ferry Fibriandani mengembangkan kesadaran tentang kesehatan mental dan membangun Rumah Remedi Indonesia? Berikut ini kutipan wawancara khusus bersama Suara.com.
1. Mulai membangun Rumah Remedi Indonesia sejak 2012, apa sih sebenernya latar belakang mendirikan tempat ini?
Dulu saya bekerja pernah hampir 24 jam, pagi jualan B2B telekomunikasi, malam itu projek call center. Kalau dipikir sekarang sangat enggak sehat. Namun karena masih fresh graduate, kemudian itu sebuah tanggung jawab, maka saya harus menjalankan.
Apa yang terjadi? Saya kurang tidur bisa 2 sampai 3 jam setiap hari selama 4 tahun. Ya tentu muncul kondisi kesehatan fisik. Dari situlah alasan saya mulai bergerak ke mental health. Apakah saya stres waktu itu, masalah gangguan kecemasan? Iya. Tahun 1998 sampai 2002 kesehatan mental belum jadi prioritas perusahaan, tapi saya tetap jalankan perusahaan walaupun mengorbankan well-being saya.
Baca Juga: 5 Bahaya Burnout yang Tidak Terkontrol, Gangguan Kesehatan Mental
Akhirnya tahun 2002 saya resign dan fokus ke my own well-being, mengambil beberapa sertifikasi di bidang complementary therapy untuk menyembuhkan diri sebenarnya. Saya berkenalan juga dengan metode self healing. Kemudian di 2005 kembali bekerja. Tantangan lebih banyak karena tanggung jawab besar.