Merangkap dua jabatan yakni, Kepala Dispar DIY dan Pj Wali Kota Yogyakarta bagaimana ceritanya?
Ya sebetulnya, kalau saya di Kepala Dinas Pariwisata (DIY) itu kan pariwisata tidak bisa berdiri sendiri, ekosistemnya itu kan menjahit beberapa OPD sebetulnya. Nah OPD ini ada yang dari kebudayaan ada yang kemudian dari UMKM tenaga kerja ya kan kemudian ada transportasi dan sebagainya.
Jadi, antara pejabat Wali Kota dengan ruang lingkup dinas pariwisata mirip-mirip sih 11 banding 12 ya karena ekosistemnya sangat luas. Sehingga saya apa ya memaknai bahwa pengalaman di Dinas Pariwisata ini adalah merupakan embrio untuk kemudian saya melangkah ke Penjabat Wali Kota itu sendiri. Karena kalau di Wali Kota juga OPD-OPD yang kemudian terlibat disitu pasti juga terlibat di situ sama.
Tapi memang lebih luas areanya ya kemudian juga dari sisi warganya permasalahannya itu pasti lebih luas lebih kompleks. Ini menarik, dan itu menjadi tantangan bagi saya. Tantangan itu sebenarnya ya. Jadi kalau kita bicara masalah itu kemudian kita ubah masalah itu menjadi tantangan tentu kita menyelesaikan sebuah masalah itu apa ya sebuah activity yang exciting.
Bagaimana cara Anda menjaga kondisi emosi dengan dua jabatan yang diemban?
Iya di Dinas Pariwisata masih kemudian sekarang ditambah dengan Penjabat Wali Kota ini oleh Pak Gubernur ya. Karena kota ini kan menjadi ibukotanya provinsi. Jadi ibarat jarum jatuh aja banyak yang tahu, terdengar. Jadi inilah yang kemudian apa ya memanage-nya itu harus dengan irama yang pas gitu ya, kalau obat ya dengan dosis yang tepat gitu ya sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya arrangement atau koordinasi di lingkup internal kemudian eksternal dengan Forkopimda ya dengan masyarakat ada 14 kemantren ya 14 kecamatan kalau dulu.
Saya kira ini bagian tantangan tersendiri yang menarik gitu ya kalau saya seperti itu dan memahami lebih banyak orang itu kan kemudian kan ga mungkin satu orang dengan yang lain sama, walaupun kembar tetap berbeda.
Maka inilah apa ya tadi berkaitan dengan emosi kemudian bagaimana menata emosi ya kalau saya sih melihatnya setiap orang yang punya kelemahan dia pasti punya kelebihan.
Jadi itu harus kita pahami dan harus diresapi bahwa setiap orang pasti punya ciri tersendiri dan kita tidak bisa memaksakan bahwa orang harus mengikuti saya, gaya mereka harus mengikuti, tapi kita pahamkan itu.
Kalau saya lebih menyelami orang dari sisi apa ya emosionalnya, latar belakangnya kemudian pendekatannya pun harus dilakukan dengan strategi yang berbeda kalau pendekatan dengan ini strateginya ini kalau ini, ya ini.