Luar biasa antusiasme masyarakatnya itu. Dan setelah kita pelajari, ternyata orang Indonesia punya warisan pertunjukan seni dari zaman dulu sudah hidup, seperti wayang orang, ketoprak, ludruk, dan itu rakyat kita itu terbiasa nonton itu.
Cuma waktu itu tantangan untuk pentas sedikit sulit, karena ada pandangan kalau pementasan akan memberikan kritik negatif. Padahal kesenian Indonesia ini, pertunjukan itu selalu memang ada. Selain hiburannya, tetapi juga membawa pesan kemanusiaan. Cuma kala itu diterjemahkan sebagai kritik.
Kala itu ada tiga hal yang dinilai harus diwaspadai, seperti wartawan, LSM, dan seniman terkhusus teater.
Bahkan saat kita pentas di luar negeri, juga sampai perizinannya dipastikan apakah mengkritik pemerintah atau tidak. Tapi kita selalu bilang kalau ingin membawa pesan kemaanusiaan dan mengenalkan Indonesia. Jadi waktu dulu, setiap tampil selalu ditanya apakah ini ada kritik kepada pemerintah.
Dengan dibuatnya Teater Keliling sejak 1974, sejauh ini sudah berapa pementasan yang dilakukan? Lalu di negara mana saja yang sudah dilakukan pementasan?
Sekitar 1700-an dan itu sudah dilakukan juga ke 11 negara yang artinya tiga benua. Tinggal satu benua yang belum, yaitu Amerika. Karena untuk Amerika itu nggak mudah, karena terlalu menutup diri, alasannya untuk melindungi karya negerinya dan senimannya itu sendiri.
Mereka sangat keras akan hal itu. Mereka memang sedikit menutup, takut kalau kebudayaannya kalah dengan yang baru. Tapi mudah-mudahan, kita terus mencoba untuk bisa tampil di Amerika.
Melihat perkembangan saat ini, Teater Keliling terlihat mengadakan pentas Musical Mega Mega. Kalau boleh tahu, ceritanya tentang apa?
Itu sedang dipersiapkan. Mega Mega itu naskah yang sebenarnya kita pilih untuk acara 50 tahun Teater Keliling Indonesia tanggal 13 Februari nanti. Nah, kita pilih pementasan yang pertama kali dipentaskan oleh Teater Keliling Indonesia, Mega Mega itu merupakan karya pertama yang dipentaskan Teater Keliling Indonesia.
Baca Juga: Kisah Perjalanan Khansa Syahlaa, Remaja 17 Tahun yang Telah Mendaki 81 Gunung di Dunia
Dan ini sudah dilakukan pentas 167 kali keliling Indonesia, bahkan di Malaysia dan Australia. Jadi kisahnya ini ditulis pada 1962 oleh Arifin, menggambarkan orang-orang Indonesia yang sedang mencari jati dirinya.
Nah, ini untuk menyindir bahwa Indonesia itu jati dirinya belum muncul. Makanya ada 5 tokoh di situ, ada Mae dan lainnya yang semuanya punya pekerjaan berbeda-beda, tapi berkumpul kalau malam tidurnya di bawah beringin Keraton Jogja. Itu hasil pengamatan Arifin.
Dan ini ditulis secara surealistik, jadi banyak pemikiran-pemikiran yang misalnya tokohnya jadi copet, sampai dia bilang ‘mencopet adalah seni hidup paling tinggi’. Jadi kayak sifat dunia itu untung-untungan dan tutup mulut. Makanya drama ini kalau dipentaskan ger-geran dari awal sampai habis. Tapi dari awal itu kayak kena sentil-sentil di hati dari surealistiknya di situ.
Melihat perjalanan yang cukup lama, lebih dari 50 tahun, apa alasan pak Rudolf memilih untuk tetap aktif di dunia teater?
Karena saya melihat bahwa teater itu sendiri harus dihidupkan terus. Teater itu nggak boleh mati. Karena ini kan membuat kebudayaan bisa dilihat, bisa ditonton, bahkan di dalam teater komedi itu Aristoteles mengatakan bahwa pementasan komedi itu yang paling sulit karena menyentil kelemahan-kelemahan manusia, tapi dengan cara ketawa.
Sehingga pementasan teater itu pemain dan penonton itu sama-sama menertawakan diri sendiri. Jadi tingkat budaya beda-beda dan kembali pada kearifan lokal, ternyata di Indonesia itu sangat beragam. Nah, itu yang membuat kami itu berpikir bagaimana kearifan lokal itu bisa terangkat kebudayaan yang namanya Indonesia itu.