Saya bilang sama Bang Doel begini, Bang kita berdua lebih baik genuine dan apa adanya. Pertarungan, pertarungan gagasan, ide, keinginan, aspirasi, dan bagaimana memecahkan masalah Jakarta, daripada hal-hal yang bersifat etnisitas, agama, dan sebagainya. Makanya banyak yang menyarankan saya menjadi Bang Pram, nggak, saya tetap Mas Pram. Namanya juga orang Jawa, lahir Kediri, orang tua Jogja sehingga itu lah yang menjadikan kenapa saya minta Ria untuk dipanggil Mas.
Kalau misalkan sudah mulai terjun ke lapangan ke masyarakat tapi kita lihat sendiri gitu Mas Pram, Pak RK dengan Pak Suswono itu mesin politiknya belasan partai politik mendukung gitu. Nggak takut apa?
Jadi sekali lagi pertarungan di Pilgub itu pertarungan figur. Kita punya pengalaman di 2012 ketik Pak Jokowi maju dengan Pak Ahok yang mendukung hanya 18 persen. Sekarang lebih hebat lagi yang mendukung 15 persen melawan 85 persen, 14 partai sehingga kalau saya melihat ini, ini peluang malah lebih bagus karena masyarakat kita itu selalu berempati dengan orang yang lagi dikeroyok.
Saya ini kan lagi dikeroyok rame-rame, tapi saya siap dikeroyok dan saya menikmati untuk dikeroyok. Tapi saya tetap menjalin hubungan baik dengan seluruh partai yang di luar PDI Perjuangan karena selama ini memang di dalam politik itu saya politik merangkul menjadi jembatan bisa diterima siapa saja, dengan pengalaman panjang saya, menurut saya ini hal yang juga menjadi keuntungan saya pribadi.

Pak RK ini sudah mencoba beberapa kali mengunjungi masyarakat tapi itu ternyata banyak penolakan. Mas Pram merasa diuntungkan nggak?
Saya terus terang nggak pernah mau baca medsosnya Kang Emil atau Pak Suswono, saya nggak pernah baca karena bagi saya pendapat publik silakan saja. Saya merasa diuntungkan atau tidak bagi saya yang paling penting adalah bagaimana masyarakat Jakarta itu bisa menerima saya dan memberikan apresiasi karena memang saya belanja masalah dari hati ke hati, door to door saya dateng ke kampung-kampung yang memang kumuh seperti Tambora yang penduduk paling padat di Asia Tenggaara, kebakaran tertinggi di Jakarta, itu lah belanja masalah yang saya dapatkan. Tetapi saya juga karena saya latar belakang dari keluarga yang biasa biasa saja, bapak saya guru sehingga ini menjadi keuntungan bagi saya untuk melakukan sosialisasi. Saya terus terang tidak pernah mendapatkan hambatan sampai hari ini.
Mas Pram, kok Cak Lontong ketua tim pemenangan?
Jadi politiknya kan politik gagasan, politik riang gembira, politik tanpa beban, maka ketika saya dan Bang Doel berdiskusi, saya terpikir Cak Lontong.
Jadi representasi dari warga di Jakarta ini kan ada mas, ada bang, ada cak, ada kang, ada juga aa. Yaudah daripada susah-susah ambil aja Cak Lontong yang orang juga tahu sangat cerdas, smart, dan beliau juga pemimpin yang baik sehingga saya dan Bang Doel memutuskan Cak Lontong.
Baca Juga: KIM Plus Dinilai Setengah Hati Usung Ridwan Kamil, TSRC: Gerindra Sudah Mencapai Tujuan di Jabar
Sempet ada penolakan dari Cak Lontong. Kok saya yang ditunjuk?
Nggak ada, karena Cak Lontong melihat saya dan Bang Doel juga mungkin mau maju dengan 15 persen ini juga lucu gitu ya. Tetapi ini menjadi tantangan bagi kami.
Tapi memang Cak Lontong ini menjadi target utama atau second choice?
Cak Lontong jadi target utamanya. Kalau mau jujur sebenarnya target utamanya ada dua nama. Cak Lontong sama Iko Uwais, pesilat. Kenapa ambil Iko Uwais atau Cak Lontong? Karena kami tahu butuh satu figur orang Betawi asli, Iko Uwais Betawi asli. Kedua, pesilat. Jadi melawan begitu banyak itu butuh pesilat yang bisa silat kanan, silat kiri, dan sebagainya. Terutama silat lidah, kan gitu.
Jadi itu lah yang menjadi pemikiran saya dan Bang Doel. Tapi sayangnya Iko Uwais walaupun mau untuk membantu tapi dia baru pulang ke Jakarta, 4 Oktober karena lagi syuting di China, lagi main film di China.
Tapi Cak Lontong pernah menjadi salah satu tim kampanyenya Pak Ganjar dengan Pak Mahfud. Tapi kan waktu ktu kalah, Mas Pram?