Dengan mendorong pengambilan plastik bening oleh pekerja informal, kita tidak hanya mengurangi limbah plastik sekali pakai, tetapi juga meningkatkan penghasilan mereka melalui bahan yang lebih bernilai.
Annerieke Douma: Salah satu strateginya adalah bagaimana kita bersama-sama memastikan bahwa sampah tersebut memiliki nilai tambah, karena jika ada nilainya maka sampah tersebut akan diambil dan dijual. Kami berada di tahap awal. Beberapa perusahaan daur ulang plastik bernilai rendah di Indonesia menghasilkan material untuk rumah dan barang lainnya, menambah nilai. Itu salah satu strategi melalui pasar. Strategi efektif lain yang sangat penting adalah Extended Producer Responsibility (EPR).
EPR masih bersifat sukarela di Indonesia. Saya memperkirakan dalam beberapa tahun mendatang, hal ini akan menjadi suatu kewajiban di banyak negara. Seperti Vietnam, penerapan EPR kini diwajibkan, juga di Filipina dan India. Jadi, sudah menjadi undang-undang nasional dimana pemerintah menyatakan setiap produsen yang menjual kemasan plastik di pasar harus menggunakan minimal tiga puluh persen bahan daur ulang dalam kemasannya. Produsen juga perlu membayar berapa banyak kemasan yang mereka pasarkan, dan biaya tersebut harus dialokasikan ke sumber pengumpulan.
Jadi, strategi inklusivitas pemulung, sistem operasional, dan mekanisme UU EPR itu harus memberikan porsi kepada pemulung. Jadi, jika mereka memungut sampah, mereka menyediakan layanan pengumpulan dan harus membayar untuk layanan tersebut.
Selain itu, jika pemulung memiliki KTP, maka mereka dapat membuka rekening bank dan harus terdaftar sebagai petugas sampah resmi. Jadi, ada banyak langkah yang harus diambil. Misalnya, hal ini terjadi di Afrika Selatan. Ini adalah proses langkah demi langkah. Inilah yang mulai terjadi sekarang di India. Jadi, kita bisa belajar dari negara lain bagaimana langkah-langkah tersebut diambil. Namun, hal ini dimulai dengan kewajiban EPR, dan undang-undang tersebut perlu mencakup manfaat bagi pemulung. Itu sangat penting.
Artinya yang diharapkan sekarang adalah bagaimana kita bisa menerapkan apa yang sudah diterapkan di India dan Afrika Selatan? Namun apakah itu memerlukan proses yang panjang?
Annerieke Douma: Penting bagi kita untuk belajar dari kisah sukses dan tantangan negara lain. Tidak hanya ada satu model yang bisa kita terapkan di setiap tempat. Kita berharap dapat bekerja sama dengan pemerintah, dan pencapaian pertama yang ingin kita capai adalah pengakuan pemerintah terhadap pemulung sebagai pemangku kepentingan yang penting.
Kemudian, kita bisa bekerja sama untuk mengintegrasikan keseluruhan sistem dan hal ini bersifat jangka panjang. Di India, program ini dimulai pada tahun 2016, hanya 6-7 tahun yang lalu. Ada banyak asosiasi pemulung yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan, dan mereka bekerja sama dengan organisasi seperti kami, UN Environment Programme, UNDP, dan juga pemerintah.
Pada dasarnya, kesejahteraan pekerja sampah di Indonesia, sebagaimana yang diketahui publik, masih tertinggal cukup jauh. Apa saja tantangan spesifik terkait kesejahteraan dan hak asasi pekerja informal, dan bagaimana kita dapat mengatasinya?
Baca Juga: Tak Sudi Ditegur Gegara Buang Sampah Sembarang, Pria Lansia di Johar Baru Tewas di Tangan Tetangga
Ardhina Zaiza: Sebetulnya challenge-nya banyak ya. Kalau kita lihat di lapangan, masalahnya tidak spesifik kepada pemulung saja karena ini memang isu sosial dengan akar permasalahannya yang lebih luas. Dari hasil observasi di lapangan melalui interview dengan pemulung dan assessment juga, challenge utama adalah rekognisi dan akses.
Jadi yang pertama adalah rekognisi, dimulai dengan sebatas nama penyebutan mereka yang bahkan berbeda-beda di tingkat pemerintah. Di satu sisi ada yang menyebut mereka sebagai Pahlawan Sampah. Namun, di sisi lain disebut tunawisma. Sebatas rekognisi untuk resmi disebut sebagai apa sudah tidak sama. Berdasarkan data yang ada, terdapat lebih dari 2 juta pemulung di Indonesia dan mereka membantu mengumpulkan hingga 1 juta ton sampah. Artinya kan mereka memberikan kontribusi yang signifikan. Tetapi memang pada praktiknya, apabila kita melihat dari kacamata sosial, mereka tidak mendapatkan pengakuan atau rekognisi atas kontribusinya.
Challenge kedua adalah akses terhadap fasilitas-fasilitas sosial yang biasa kita dapatkan. Saya pun sejujurnya, ketika terjun langsung ke lapangan, baru sadar bahwa ternyata banyak pemulung yang bahkan anaknya itu tidak ada akte lahir; orang tuanya tidak punya surat nikah; tidak punya KTP atau surat nikah.
Nah, itu kemudian menjadi akar masalah yang lebih besar, karena tanpa surat-surat tersebut, mereka tidak mempunyai BPJS sehingga tidak ada akses ke Puskesmas. Jadi, semuanya itu sangat kompleks.
Karena pemulung tidak mendapatkan akses tersebut, maka anak mereka pun tidak punya kesempatan akses untuk sekolah. Salah satu yang kami lakukan adalah untuk memberikan akses edukasi kepada anak-anak pemulung melalui program-program yang kita jalankan.
Tanpa adanya akses edukasi, kemungkinan menyebabkan cycle kehidupan anaknya seperti orangtuanya. Pilihan hidup mereka sebatas menikah dan melanjutkan pekerjaan orangtuanya. Siklusnya tidak akan berubah.