Kami juga tidak melakukan serta merta berdasarkan pemahaman kita saja. Kami melakukan yang namanya baseline assessment di mana kita mewawancarai bahkan sebanyak lebih dari 90 orang kemarin.
Dari baseline assessment tersebut, kita ingin tahu dari sisi collection center-nya seperti apa, collection partner-nya seperti apa, kemudian dari sisi pemulung apa yang bisa kita tingkatkan. Kita bisa mendapatkan banyak insight dan akhirnya mengetahui apa yang mereka butuhkan saat ini. Jadi ketika kita sudah mengumpulkan solusinya, kami membagi jangka waktu pelaksanaanya apakah short-term, medium-term atau long- term. Jadi akan banyak dilihat sih faktor nya.
Bisakah Anda memberi kami beberapa hal penting tentang baseline assessment tersebut?
Ardhina Zaiza: Menurut saya hasilnya cukup konsisten dengan apa yang kami sudah kami ketahui perihal kondisi para pemulung di Indonesia. Tidak semua pemulung sanggup untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Bisa saja pendapatannya berbeda-beda beberapa area itu. Hasil baseline assessment kita kemarin ada di area Tangerang, Subang, dan Bekasi berbeda-beda.
Pertama, memang dari sisi pendapatan mereka fluktuatif pastinya di baseline assessment, sehingga ada yang bisa memenuhi kebutuhan dan ada yang tidak bisa makan dua kali sehari.
Kemudian kedua, sesuai dengan apa yang tadi saya bilang juga, konsisten juga bahwa tidak adanya akses untuk kesehatan, karena tidak punya KTP atau ID lainnya.
Ketiga, antara mereka belum ada kesadaran atau mungkin memang tidak ada fasilitasnya untuk sanitasi.
Apakah apa ada paguyuban pemulung di Indonesia?
Ardhina Zaiza: Ada Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) cuman memang seberapa luas bekerjanya masih butuh di telurusi.
Baca Juga: Tak Sudi Ditegur Gegara Buang Sampah Sembarang, Pria Lansia di Johar Baru Tewas di Tangan Tetangga
Yang jelas di beberapa area, berdasarkan hasil baseline assessment kita, pemulung tidak tergabung. Mereka bahkan tidak tahu apakah butuh serikat atau tidak, apa yang mau di perjuangkan dan siapa yang mau mendengarkan.
Ini memang yang nanti kedepannya akan kami fokuskan sebagai bagian dari framework tadi, yaitu mengenai Collective Representation. Namun, kita juga kita harus lihat dengan gaya hidup mereka yang berbeda-beda, sehingga mereka punya komunitas tersendiri. Memang sangat kompleks dan akan lebih efektif jika kami bekerja mulai dari komunitas kecil mereka dulu.
Di Yayasan Mahija Parahita Nusantara, kami akan menginisiasi program yang namanya “Mahija Agent of Change”, dimana kita akan melakukan kaderisasi sejumlah leaders untuk bantu menggerakkan kesadaran atas hak-hak mereka sebagai warga Indonesia dan rekognisi kontribusi mereka kepada masyarakat.
Apa harapan TCI dan Mahija untuk masa depan pekerja informal sektor limbah di Indonesia? Dan bagaimana masyarakat dapat terlibat atau berkontribusi dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut?
Ardhina Zaiza: Harapannya tentu saja kita bisa mengaplikasikan ini di Indonesia, dimulai dari yang kita libatkan baseline assessment tadi.
Tapi tentu saja harapan besarnya adalah hal ini bisa diimplementasikan dan di-endorse oleh pemerintah juga, bahwa responsible sourcing ini penting, sehingga para pemulung dan pekerja informal lainnya mendapatkan pengakuan dan akses terhadap hak-hak dasar sebagai warga negara. Tentunya, kami juga ingin mereka bekerja di lingkungan yang aman, dan semua haknya termasuk kesehatan dan sebagainya terpenuhi serta bisa mereka akses.