Atasi Sampah Plastik di Laut, The Circulate Initiative & Yayasan Mahija Parahita Nusantara Hadirkan Program RSI

Senin, 18 November 2024 | 16:00 WIB
Atasi Sampah Plastik di Laut, The Circulate Initiative & Yayasan Mahija Parahita Nusantara Hadirkan Program RSI
Chairwoman Yayasan Mahija Parahita Nusantara, Ardhina Zaiza dan Director of Programs The Circulate Initiative, Annerieke Douma. (Dok: Suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Jadi yang pertama adalah rekognisi, dimulai dengan sebatas nama penyebutan mereka yang bahkan berbeda-beda di tingkat pemerintah. Di satu sisi ada yang menyebut mereka sebagai Pahlawan Sampah. Namun, di sisi lain disebut tunawisma. Sebatas rekognisi untuk resmi disebut sebagai apa sudah tidak sama. Berdasarkan data yang ada, terdapat lebih dari 2 juta pemulung di Indonesia dan mereka membantu mengumpulkan hingga 1 juta ton sampah. Artinya kan mereka memberikan kontribusi yang signifikan. Tetapi memang pada praktiknya, apabila kita melihat dari kacamata sosial, mereka tidak mendapatkan pengakuan atau rekognisi atas kontribusinya.

Challenge kedua adalah akses terhadap fasilitas-fasilitas sosial yang biasa kita dapatkan. Saya pun sejujurnya, ketika terjun langsung ke lapangan, baru sadar bahwa ternyata banyak pemulung yang bahkan anaknya itu tidak ada akte lahir; orang tuanya tidak punya surat nikah; tidak punya KTP atau surat nikah.

Nah, itu kemudian menjadi akar masalah yang lebih besar, karena tanpa surat-surat tersebut, mereka tidak mempunyai BPJS sehingga tidak ada akses ke Puskesmas. Jadi, semuanya itu sangat kompleks.

Karena pemulung tidak mendapatkan akses tersebut, maka anak mereka pun tidak punya kesempatan akses untuk sekolah. Salah satu yang kami lakukan adalah untuk memberikan akses edukasi kepada anak-anak pemulung melalui program-program yang kita jalankan.

Tanpa adanya akses edukasi, kemungkinan menyebabkan cycle kehidupan anaknya seperti orangtuanya. Pilihan hidup mereka sebatas menikah dan melanjutkan pekerjaan orangtuanya. Siklusnya tidak akan berubah.

Annerieke Douma: Jadi, apa yang kita lihat di banyak negara serupa. Permasalahannya menyangkut keselamatan dan kesehatan mereka, dan mereka hidup berdampingan dengan sampah.

Untuk memperbaiki situasi tersebut secara global, kami berkolaborasi dengan banyak mitra—perusahaan daur ulang, pemulung, Aliansi Pemulung Internasional, dan banyak merek.

Bersama-sama, kami mengembangkan kerangka kerja untuk memahami apa yang layak pada level yang paling dasar dan apa yang bisa dilakukan karena, dalam banyak kasus, mereka berpenghasilan kurang dari gaji minimum, dan itu pun belum cukup. Mereka tidak makan tiga kali sehari, dan itu tidak bisa dibenarkan. Jadi berapa standar gaji minimumnya?

Oleh karena itu, kami mengembangkan Inisiatif Pengadaan yang Bertanggung Jawab untuk diimplementasikan oleh pemerintah, organisasi lain, dan pemangku kepentingan terkait.

Baca Juga: Tak Sudi Ditegur Gegara Buang Sampah Sembarang, Pria Lansia di Johar Baru Tewas di Tangan Tetangga

Saat kami bekerja sama dengan Yayasan Mahija Parahita Nusantara, mereka sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Misalnya, mereka menyediakan pemeriksaan kesehatan bagi banyak pekerja sampah informal. Itu adalah contoh standar minimum di bidang kesehatan dan keselamatan. Kami bisa menyediakan akses ke rumah sakit, tapi kami hanya bisa melakukannya jika pemerintah menyatakan, “Kami mengakui para pekerja sampah, dan mereka memiliki hak untuk pergi ke rumah sakit.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI