Indonesia adalah negara kedua yang mengimplementasikan RSI setelah Vietnam, pelajaran apa yang dapat dipetik dari Vietnam terkait inisiatif ini?
Annerieke Douma: Pertama, untuk memahami apa yang ingin kita lakukan, kita harus memahami situasinya terlebih dahulu. Berdasarkan penilaian tersebut, kita akan mengetahui situasi di seluruh area rantai nilai. Itu adalah langkah pertama.
Kemudian, kami bekerja sama dengan mitra dan pemangku kepentingan untuk mendiskusikan hasil penilaian dan menetapkan solusi yang menurut mereka perlu diterapkan, dan merekalah yang memutuskan, bukan kami.
Hal serupa juga terjadi di Vietnam. Kami belajar bahwa dalam prosesnya, kami tidak perlu banyak bertanya di awal karena ini adalah pertanyaan yang sangat pribadi mengenai hak asasi manusia.
Ardhina Zaiza: Berdasarkan The Harmonized Responsible Sourcing Framework for Recycled Plastics, ada lima key area yang kami perhatikan sebagai pengukuran keberhasilan, yaitu Economic empowerment, Health and safety, Autonomy and inclusion, Collective Representation, dan Gender equality.
Jadi kita lihat kelima area itu dan di masing-masing area itu ada yang namanya minimum indicator yang harus dicapai, atau disebut Advanced Indicator. Bisa dikatakan sangat bertanggung jawab kalau sudah mencapai indikator-indikator di Advanced Indicator tersebut.
Di Indonesia sendiri, dan seperti di negara-negara lain, proses pelaksanaan proyek ini dimulai dengan stakeholder engagement dulu. Jadi The Circulate Initiative juga engage dengan siapa saja yang mau melakukan ini. Dalam hal ini kita bekerja di dalam value chain PT Amandina Bumi Nusantara yang disebut sebagai recycler atau pabrik daur ulangnya. Nah, di value chain-nya Amandina turun ke bawah. Di bawahnya, ada yang namanya collection center atau aggregator. Di bawahnya lagi, itu namanya collection partner atau lapak. Dimana lapak-lapak ini supply plastiknya ke collection center. Di bawahnya lagi, baru kita menyebutnya pemulung.
Jadi ada berbagai tingkatan, satu sampai empat. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada pemulung yang menjual barang ke pemulung lain. Jadi itu sudah di bawahnya lagi. Jadi itu sebabnya kita harus melibatkan semua orang. Karena tentu saja, kalau kita mau mensejahterakan pemulung, kita harus melibatkan mereka semua dalam satu ekosistem. Karena tidak mungkin ketika kita berbicara ekonomi empowerment atau plastik, mungkin yang tadi saya bicarakan, pada dasarnya ada akses ke recognition dan sebagainya.
Kemudian bagaimana kita bisa bekerja sama untuk memberikan pelatihan terkait keselamatan kerja? Jadi semua orang di ekosistem harus berkontribusi atau punya ide cara kerja yang melibatkan semua orang. Jadi akhirnya kalau dari atas pendekatan programnya sudah oke, maka akan lebih mudah untuk diimplementasikan kebawah. Itu sebabnya kita harus melihat visi dan misi proyek in secara menyeluruh.
Baca Juga: Tak Sudi Ditegur Gegara Buang Sampah Sembarang, Pria Lansia di Johar Baru Tewas di Tangan Tetangga
Tadi contoh di Vietnam, kita sudah bercerita bahwa kita tidak hanya menyentuh sebatas pemulung saja untuk keberhasilan proyek ini. Jadi kita juga memberi dukungan kepada collection center atau aggregator. Misalnya sesederhana mereka tidak punya catatan finansial yang baik, sehingga bisnisnya selalu rugi. Akhirnya, orang-orang di bawahnya, seperti pemulung akan dikasih harga nya murah. Jadi mau tidak mau, itu sebenarnya saling berkesinambungan dan kita tidak hanya melihat dari sudut pandang pemulung saja, tapi kita libatkan semua orang. Jadi value chain-nya itu yang kita libatkan.