Suara.com - Aparat kepolisian semakin abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini mengingat semakin maraknya aksi penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap masyarakat sipil.
KontraS mencatat pada periode Juli 2023 hingga Juni 2024 terdapat 645 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Terdapat 754 korban luka dan 38 korban meninggal, yang dirinci 460 kasus di antaranya berkaitan dengan penembakan, 52 penganiayaan, 37 penyiksaan, dan 49 penangkapan sewenang-wenang, 37 pembubaran, dan 33 intimidasi.
Sementara Amnesty International Indonesia mencatat sejak 16 Januari hingga 24 November 2024, terdapat 31 kasus pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat. Sebanyak 23 kasus di antaranya dilakukan oleh anggota polisi.
Termutakhir, tiga peristiwa brutal yang dilakukan polisi terjadi dalam satu pekan. Pertama, kasus Kabagops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar menembak rekannya sesama polisi dari Satreskrim AKP Ulil Ryanto Anshar karena kasus tambang ilegal pada Jumat (22/11/2024).
Dua hari berselang, pelajar SMK di Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy tewas ditembak Anggota Satnarkoba Polrestabes Semarang, Aipda Robig Zaenuddin. Polisi mengklaim Gamma terlibat aksi tawuran, namun teman-teman korban dan sejumlah saksi di lokasi kejadian membantah --tidak ada tawuran di hari kejadian.
Sementara pada hari yang sama, Minggu (24/11/2024), seorang warga bernama Beni (45) tewas ditembak oleh anggota Brimob di Perkebunan Kelapa Sawit milik PT Bumi Permai Lestari (BPL), Bangka Barat, Bangka Belitung. Korban dituduh hendak mencuri sawit dengan beberapa rekannya.
Rangkaian kasus tersebut tentunya menjadi persoalan yang harus diatasi di internal korps baju cokelat.
Suara.com berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Chairul Anam dalam melihat fenomena tersebut dan langkah-langkah yang akan dilakukan lembaga tersebut. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana sikap anda tentang polisi yang semakin abuse of power dalam penindakan di lapangan?
Baca Juga: 3 Nyawa Melayang di Ujung Bedil: Polisi Bukan Sang Pengadil
Menurut kami ini adalah bahan penting untuk melihat bagaimana dinamika kepolisian menggunakan kewenangannya, termasuk bagaimana kepolisian harus berlaku profesional.
Kemudian, berbagai kasus yang marak terjadi saat ini mendapat perhatian publik luas, karena ini juga kontrol publik secara langsung, apalagi di era keterbukaan.
Langkah apa yang dilakukan Kompolnas dalam menyikapi kekerasan aparat, termasuk penembakan terhadap warga sipil?
Berbagai peristiwa itu sebenarnya menunjukkan beberapa pola penting. Satu, memang problem terkait penggunaan senjata api dan kewenangannya. Senjata api penting untuk kita awasi sehingga memang dinamika penggunaan senjata api yang melahirkan kekerasan bisa dikurangi. Refleksinya, satu pengendalian secara administratif.
Yang kedua terkait selalu melakukan tes psikologi. Lebih jauh lagi memang penting untuk dilihat penggunaan senjata api ini harus ada satu kebijakan yang lebih spesifik.
Kalau di daerah-daerah tertentu yang memang ada situasi khusus, ya membawa senjata api dibolehkan dengan pengawasannya ketat. Tapi di situasi-situasi tertentu yang aman, yang damai, juga dinamika perkotaan penting untuk memulai penggunaan senjata non-lethal weapon, misalnya taser gun atau kejut listrik yang tidak sampai melukai atau bahkan mengambil nyawa atau menghilangkan nyawa seseorang.