Suara.com - Perubahan iklim tak lagi sekadar isu lingkungan. Ia kini juga menjadi isu hak asasi manusia.
Dalam opini nasihat penting yang dirilis Kamis (27/6), Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menyatakan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi krisis iklim demi melindungi hak asasi manusia, termasuk hak generasi mendatang.
Putusan ini hadir di tengah meningkatnya bencana ekologis yang merusak kehidupan jutaan orang—dari kebakaran hutan di Amazon, banjir di Karibia, hingga kekeringan ekstrem di wilayah Andes.
Semua ini berkontribusi pada terganggunya akses atas hak-hak dasar seperti kesehatan, air bersih, dan tempat tinggal.
Putusan tersebut menegaskan bahwa negara tak hanya wajib menghindari kerusakan lingkungan, tetapi juga harus memulihkan dan melindungi ekosistem. Negara perlu bertindak berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengetahuan masyarakat adat.

“Pengadilan telah menyatakan bahwa kita berada dalam keadaan darurat iklim yang merusak hak asasi manusia generasi sekarang dan mendatang dan bahwa hak asasi manusia harus menjadi pusat dari setiap tanggapan yang efektif,” kata Nikki Reisch dari Center for International Environmental Law kepada AP.
Meskipun bersifat nasihat dan tidak mengikat secara hukum, opini ini memiliki dampak besar di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Banyak negara anggota Organisasi Negara-negara Amerika menjadikan opini pengadilan ini sebagai acuan kebijakan dalam negeri dan yurisprudensi.
“Negara tidak hanya harus menahan diri dari menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan tetapi juga memiliki kewajiban positif untuk mengambil tindakan guna menjamin perlindungan, pemulihan, dan regenerasi ekosistem," ujar Ketua pengadilan, Hakim Nancy Hernández López seperti dikutip Euro News.
Putusan ini juga memperkuat momentum gerakan masyarakat adat yang selama ini menjadi garda depan dalam melindungi hutan dan tanah. Bulan lalu, ratusan pemimpin adat dari kawasan Amazon berkumpul di Ekuador untuk menuntut implementasi keputusan pengadilan yang menjamin hak mereka atas tanah dan lingkungan.
“Ini bukan sekadar tonggak hukum—ini adalah cetak biru untuk tindakan,” kata Reisch. “Pendapat ini akan memandu litigasi iklim di pengadilan lokal, regional, dan nasional, serta memberi landasan bagi pembuatan kebijakan di tingkat global.”
Baca Juga: Aktivis Menuntut Perbankan Hentikan Pendanaan PLTU Batu Bara
Opini ini dikeluarkan sebagai respons atas permintaan dari Kolombia dan Chili, dan diperkirakan akan menjadi referensi penting dalam negosiasi COP30—Konferensi Iklim PBB berikutnya yang akan digelar November 2025 di Belem, Brasil.