Suara.com - Jorge Contrera mengecek sepasang satu bekas dari atas hingga bawah, kemudian mengelap sepatu tersebut, lalu membayar 40 pesos atau sekira Rp 60.000. Sepatu bekas itu merupakan hadiah untuk ulang tahun putrinya ke-8. Sebelum pemerintah Argentina melakukan devaluasi terhadap peso, dia sebenarnya berencana untuk membelikan sepatu baru sebagai kado kejutan untuk putrinya itu.
“Tahukah anda bagaimana perasaan saya membelikan sepatu bekas untuk hadiah putri saya? Harga sepatu baru melonjak tinggi dan saya tidak punya uang tunai,” kata Jorge.
Seperti Contrera, standar kehidupan sebagian besar warga Argentina terus menurun seiring dengan melesatnya inflasi dalam satu dekade terakhir.
Akibatnya, daya beli warga Argentina merosot. Bulan lalu, Presiden Cristina Fernandez de Kirchner memutuskan untuk mendevaluasi mata uang peso.
Keputusan itu membuat harga-harga kebutuhan naik mulai dari harga mobil hingga kulkas. Situasi yang melanda Argentina saat ini membuat Presiden Fernandez dalam posisi yang sulit. Apabila dia mengeluarkan kebijakan uang ketat, maka berpotensi memicu kerusuhan sosial.
“Ini saat yang kritis bagi pemerintahan Fernandez dan tidak ada alasan kondisi akan semakin membaik. Ada risiko besar akan terjadi protes besar-besaran dalam beberapa waktu ke depan,” kata Mariel Fornoni, Direktur perusahaan jajak pendapat Management & Fit.
Sejak 27 Januari lalu, pemerintahanan Fernandez menaikkan suku bunga 6 persen dalam rangka mengurangi permintaan dolar Amerika. Tingginya permintaan dolar Amerika telah membuat cadangan dolar bank sentral Argentina turun 34 persen menjadi $ 28 miliar dalam setahun terakhir.
Saat ini, tingkat suku bunga masih negative dan pemerintah harus berani mengurangi anggaran belanja termasuk subsidi energi untuk memulihkan perekonomian. Apabila kebijakan itu tidak segera dilakukan, dikhawatirkan akan terjadi pelarian modal ke luar negeri dan devaluasi peso akan terus berlanjut. (Bloomberg)