Suara.com - Hidup seatap bareng pasangan gak mudah. Bahkan sering menuntut banyak pengorbanan. Rutinitas hidup berubah. Bukan hanya sekadar kebiasaan saja, tapi juga menyangkut finansial.
Biduk rumah tangga nggak selalu lempeng. Utamanya seputar naik turunnya ekonomi rumah tangga. Kalau nggak juga diberesin, bakal merembet ke mana-mana sampai ke anak. Belum lagi kalau ditambah dengan masalah utang.
Berikut ini beberapa contoh realita keuangan pascamenikah:
Realita pertama, realistis vs materialistis
Jelas beda banget antara cewek matre dengan cewek realistis. Cewek matre selalu lihat pasangannya sebagai sumber duit. Nggak mau tahu, pokoknya setiap ada keinginan mesti selalu dipenuhi.
Lain halnya cewek realistis. Cirinya terlihat kalau dia nggak punya tuntutan yang tinggi banget. Pikirannya jauh ke depan dan siap berjuang bareng pasangan.
Sayangnya, nggak semua suami bisa bedakan ini. Begitu diajak bahas keuangan, responsnya negatif. Padahal bagi cewek yang realistis, mereka sekadar ingin memastikan setelah menikah nanti ada kepastian hidup layak.
Realita kedua, pengeluaran sulit dibendung
Susah bendung duit. Bukan diartikan untuk foya-foya, tapi untuk menutup pengeluaran rutin. Tagihan listrik, cicilan rumah, biaya sekolah anak, dan belanja bulanan.
Belum lagi kalau ada gejolak ekonomi seperti melonjaknya harga sembako, BBM naik, atau anak sakit yang bikin tabungan terkuras habis. Apa nggak puyeng merasa gaji selalu ludes sebelum bulan berganti?
Realita ketiga, ini yang kita butuhkan, bukan yang aku butuhkan
Masing-masing harus sadar diri dan siap berkorban. Singkirkan dulu kepentingan pribadi demi keluarga. Pengorbanan itu perlu demi tujuan keuangan keluarga tercapai. Ego dan keinginan diri sendiri mesti ikhlas ditekan kuat-kuat.
Biar realita keuangan ini nggak mengganggu pernikahan, nggak ada salahnya menerapkan beberapa poin berikut ini:
Jaga nyali berhadapan dengan realita. Semua pilihan ada risikonya, termasuk menikah. Dan, menikah itu bukan hidup di alam fantasi. Jadi coba kelola risiko itu dengan perencanaan di awal. Jangan sampai nikah sekadar kejar status dan akhirnya berakhir di depan hakim agama karena alasan finansial.