
Dan sawah super luas di tempat terpencil itu, punya kelemahan praktis : tidak ada petani yang kerja di sana. Cerita gagalnya sawah sejuta hektar di Kalteng, danfood estate di Merauke, membuktikan hal itu. Sawah adalah kerja manusia. Letaknya harus dekat dengan tempat tinggal mereka. Tak ada sawah tanpa manusia.
Memperbaiki sawah yang rusak di Jawa, Bali dan Sumatera, adalah langkah efektif untuk naikkan lagi produksi beras. Memperluas perhutanan sosial di Jawa dan Sumatera, dapat signifikan menambah produksi pangan. Tak hanya beras. Tetapi juga singkong, jagung, ubi, sorgum. Sagu dapat digalakkan di hutan-hutan adat, oleh masyarakat Indonesia Timur.
Sesungguhnya, daripada berpikir tentang food estate yang mengandalkan pemodal besar -- yang besar juga daya rusaknya pada hutan -- Pemerintahan Jokowi lebih baik melanjutkan gagasan perhutanan sosial. Ini akan melibatkan belasan juta keluarga tani. Ekonomi mereka bergerak, dan pasok pangan lebih terjamin. Percayakan kepastian pangan kita pada orang banyak. Jutaan petanilebih baik, ketimbang lima-enam investor kakap yang mementingkan ambil kayu hutan ketimbangmemastikan pasok pangan.
Di Jawa, tantangan terbesar perluasan perhutanan sosial adalah keengganan Perhutani. Meski sekarang, BUMNyang dipercaya mengelola 2,5 juta ha hutan di Jawa itu,telah menunjuk direktur khusus di bidang perhutanan sosial, pandangannya tentang hutan dan petani, belum banyak berubah. Hutan milik mereka. Petani hanya numpang. PHBM, pengelolaan hutan bersama masyarakat, sudah lama punya konotasi demikian. Hubungan yang timpang antara pemilik dan petani yang menumpang pakai lahan.

Sedangkan dalam perhutanan sosial, hubungan dibuat setara. Perhutani dan petani adalah partner. Karenanya hak dan kewajiban ditulis terang. Izin tertera 35 tahun. Hubungannya bukan lagi patron-klien. Perlu kerelaan Perhutani melepas previlegenya sebagai patron. Hubungan baru itu, sesungguhnya dapat lebih produktif untuk keduanya. Petani lebih tenang berproduksi, karena jaminan legal jangka panjang. Perhutani dapat berlaku sebagai offtaker atas produk-produk mereka.
Pandemi ini memberi bukti. Petani adalah golongan yang mengambil risiko dengan tetap bekerja, ketika banyak orang memilih diam di rumah. Presiden bahkan tanpa sungkan meminta petani tetap menanam, mengantisipasi kekurangan pangan setelah kemarau nanti. Jadi sewajarnya, para petani itu didukung. Beri kepastian lahan yang masif lewat perhutanan sosial. Dukung sarana kerja dengan skema kredit yang ramah petani. Dan tak kurang pentingnya, dukungan denganmembuka pasar.
Di Sarongge, saya belajar banyak. Bukan hanya tentang reforestasi dan kopi. Tetapi juga hidup petani, yang pada umumnya di sana berarti bertani sayur. “Bertani itu 4-1. Empat kali rugi, sekali untung,” kata tetangga saya. Harga begitu fluktuatif. Pasar tanpa kompromi. Peluang mendapat harga bagus itu hanya sekali dari lima kali panen. Toh mereka terus menanam. Tanpa bantalan harga yang bisa diharapkan.
Jadi sekali ini, ketika pandemi mereda, tak berlebihan kalau pemerintah memberi penghargaan pada petani. Dalam wujud kebijakan yang mendukung petani kita.
Baca Juga: Cegah Penyebaran Corona, Nikaragua Bebaskan 2.815 Narapidana Kecuali Tapol