Kata Edy, pemberdayaan petani/masyarakat kelapa sawit diantaranya dilakukan dengan pertama, melakukan pendidikan, pelatihan dan magang petani, kedua, pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan kelembagaan. Ketiga, penghimpunan dana peremajaan dalam rangka keberlanjutan usaha.
Kemudian keempat, pemantapan kelembagaan yang mendukung pengembangan agribisnis kelapa sawit. Lantas kelima, kemitraan antara perusahaan besar negara/swasta dengan kelompok tani dalam rangka akselerasi peremajaan sawit rakyat.
“Dibutuhkan adanya sinergi kebijakan antara lembaga pemerintah dan lembaga legislatif serta antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan daerah. Hal ini ditempuh melalui koordinasi dan sinkronisasi antar seluruh stakeholders yang dilakukan secara berkala,” kata Edy dalam acara Webinar FGD Sawit Berkelanjutan
Vol. 10, bertajuk “Mendukung Pemberdayaan Perkebunan Sawit Rakyat”, yang diadakan InfoSAWIT ditulis Jumat (19/11/2021).
Sementara dikatakan Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari, guna mendukung petani sawit swadaya, solusi Indonesia adalah melalui program penanaman kembali petani besar-besaran yang bertujuan untuk membantu petani sawit swadaya memperbaharui perkebunan kelapa sawitnya dengan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan, dan berkualitas serta mampu mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal (Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan -LULUCF).
Lebih lanjut kata Sunari, sebab itu dalam penerapan PSR mencakup 4 aspek, pertama aspek legalitas yakni petani swadaya yang berpartisipasi dalam program ini harus mengikuti aspek legalitas tanah.
Kedua aspek produktivitas, ialah pencapaian standar produktivitas untuk program penanaman kembali bagi perkebunan yang produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) sawitnya masih dibawah 10 ton/ha/tahun.
“Termasuk kebun sawit rakyat yang Kepadatan tanaman kurang dari 80 pohon/h,” kata Sunari.
Lantas ketiga aspek sustainability, dimana program penanaman kembali mesti mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, yang meliputi: tanah, konservasi, lingkungan dan lembaga. Lantas keempat, pemenuhan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dengan memastikan prinsip keberlanjutan, kata Sunari, peserta program ini diharuskan untuk mendapatkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada panen pertama.
Hanya saja dialam praktiknya program yang digagas pemerintah ini masih menghadapi beberapa kendala, diungkapkan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, permasalahan itu antara lain masih tingginya tanaman Sawit rakyat yang sudah memasuki masa peremajaan dan tingkat produktivitas yang rendah, paahal pemerintah mentargetkan PSR setiap tahun minimal 180 ribu Ha.
Baca Juga: Laba Sawit Sumbermas Naik 286,38 Persen Dalam Setahun
Lebih lanjut kata Mukti, dana PSR yang disediakan sebesar Rp 30 juta hanya cukup untuk Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)1.
“Lantas bagaimana dengan dana sampai TM1, sumber pendapatan pekebun selama tanaman belum menghasilkan?” tutur Mukti.
Termasuk mengenai, legalitas lahan, khususnya kebun sawit yang diidentifikasikan masuk dalam Kawasan hutan, lantraran terdapat lahan eks PIR dan eks Transmigrasi masuk dalam Kawasan hutan.
Solusi UUCK hanya untuk sawit rakyat yang kurang dari 5 Ha dan berdomisili di lokasi.
“Bagaimana diluar itu? Mengenai jual beli kapling/ganti pemilikan (eks PIR), bagaimana berkembangnya PKS tanpa kebun?” ucap Mukti.
Sebab itu GAPKI dalam mendukung PSR, dengan melakukan pembentukan SATGAS Percepatan PSR GAPKI, yang melibatkan seluruh Cabang GAPKI, dimana cabang melakukan assesment dan pemetaan potensi lahan dan petani PSR disekitar anggota, update perkembangan penanaman).