Suara.com - Keputusan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk menghentikan pembiayaan ke sektor energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi mendapat apresiasi kalangan pegiat lingkungan.
Direktur Utama PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk, Sunarso pun didesak untuk pula menindaklanjuti dengan segera menghentikan proyek-proyek energi fosil yang sedang berjalan seperti PLTU Jawa 9 dan 19 serta refinancing Adaro.
Koordinator Asosiasi Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting mengatakan keputusan dari Bank BRI tersebut membantu menekan laju perubahan iklim dan meminimalisasi potensi gagal panen sehingga akan menyelamatkan petani dari ancaman gagal membayar Kredit Usaha Rakyat (KUR).
“Sedangkan Bank BRI saat ini gencar menyalurkan kredit ke sektor pertanian. Pada tahun 2021, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk tercatat menguasai 28,3 % pangsa pasar (market share) penyaluran kredit ke sektor pertanian dari seluruh industri perbankan nasional,” kata Pius dalam keterangannya Sabtu (4/6/2022).
Menurut Pius, petani menjadi kelompok paling rentan terdampak perubahan iklim.
Kejadian iklim ekstrem akan menyebabkan kegagalan panen dan tanam, yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi akibat banjir dan kekeringan, peningkatan suhu udara, dan intensitas serangan hama.
Ketika petani mengalami gagal panen, mereka mengalami kerugian yang besar dan mengganggu kondisi keuangan mereka dan berpotensi tidak dapat melunaskan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diberikan oleh Bank BRI.
Padahal sejatinya, KUR bertujuan untuk memperkuat modal kerja para petani dan membat sejahtera kehidupan petani.
Sementara itu Peneliti dari Trend Asia, Andri Prasetiyo juga mengutarakan hal senada.
Baca Juga: BRI dan Tokopedia Luncurkan Kartu Kredit Tokopedia Card
Kata dia, komitmen Bank BRI yang disampaikan oleh Dirut untuk menghentikan pendanaan atas batubara dan minyak adalah langkah yang sudah tepat dan sudah seharusnya dilakukan.
Langkah ini selanjutnya tidak boleh berhenti hanya dalam bentuk pernyataan verbal dalam forum internasional, namun harus segera dituangkan secara tertulis dalam dokumen dan kerangka acuan pembiayaan perseroan ke depannya.
Bila tidak segera mengikuti langkah ini maka bank-bank yang masih memilih mendanai energi kotor akan mendapati reputasi buruk akibat sentimen negatif dari nasabah dan publik sebab dianggap tidak sensitif dengan persoalan lingkungan.
Langkah yang dilakukan Bank BRI ke depan kata Andri tidak hanya akan membawa dampak positif bagi lingkungan, sebab secara bisnis bagi perusahaan, dengan segera berhenti mendanai sumber batubara, maka peluang untuk mengembangkan pendanaan bisnis hijau akan semakin terbuka luas dan perusahaan juga akan terhindar dari risiko stranded asset.
“BRI tercatat mengambil bagian dalam kredit sindikasi untuk Mega Proyek PLTU Jawa 9-10 yang menelan biaya hingga 40 triliun rupiah dengan kapasitas 2.000 MW. PLTU Jawa 9-10 saat ini sedang masuk tahap pembangunan awal, bila BRI serius terhadap komitmennya, BRI juga dapat mengawalinya dengan menarik keterlibatannya dari proyek ini,” ujar Andri.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Fanny Tri Jambore mengatakan, pendanaan pada industri ekstraktif termasuk batubara dan minyak bumi selama ini menyebabkan meluasnya kerusakan sehingga membuat merosotnya kualitas lingkungan dan hilangnya sumber penghidupan komunitas lokal, dan memicu krisis iklim.