Pengamat: Kebijakan Bank Sentral AS Berisiko Pada Kurs Rupiah dan Cadangan Devisa

M Nurhadi
Pengamat: Kebijakan Bank Sentral AS Berisiko Pada Kurs Rupiah dan Cadangan Devisa
Pegawai menunjukkan mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (5/11/2021). [ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU]

"Situasi tersebut telah meningkatkan risiko terhadap posisi cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah," kata Faisal

Suara.com - Pengamat ekonomi Bank Mandiri, Faisal Rachman mengatakan, normalisasi moneter Bank Sentral AS, The Fed terlebih kenaikan suku bunga akan mempengaruhi sektor eksternal Indonesia, khususnya pada arus pasar modal.

Hal ini sesuai dengan prediksi dimana The Fed terus mengambil langkah yang lebih agresif dalam memerangi inflasi dalam beberapa pertemuan belakangan ini.

"Situasi tersebut telah meningkatkan risiko terhadap posisi cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah," kata Faisal dalam kajiannya, Kamis (28/7/2022).

Menurut dia, potensi itu tetap ada meski kinerja ekspor cukup baik di tengah harga komoditas yang tinggi dan memungkinkan Indonesia untuk tetap menjalankan serangkaian surplus perdagangan yang besar.

Baca Juga: Hingga Kuartal I-2025, Bank Mandiri Kucurkan KUR Sebesar Rp12,83 Triliun

The Fed terus menaikkan suku bunga kebijakan (Fed Funds Rate) sebesar 75 basis poin (bps) dari 1,5 persen sampai 1,75 persen menjadi 2,25 persen hingga 2,5 persen pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Juli 2022, yang mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi sejak 2019 atau sebelum pandemi.

Langkah tersebut diambil dengan latar belakang pasar tenaga kerja yang sangat ketat dan inflasi yang terlalu tinggi.

Meski demikian, Faisal menuturkan Otoritas AS menegaskan kembali bahwa kenaikan berkelanjutan dalam kisaran target untuk suku bunga akan sesuai, yang akan melanjutkan proses pengurangan ukuran neraca secara signifikan.

Indikator belanja dan produksi di Negeri Paman Sam baru-baru ini telah melunak dan inflasi tetap jauh di atas tujuan jangka panjang, yakni dua persen. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) berada di atas ekspektasi sebesar 9,1 persen pada Juni 2022, dengan perubahan pada inflasi inti sebesar 5,9 persen.

"Pertumbuhan belanja konsumen telah melambat secara signifikan, sebagian mencerminkan pendapatan riil yang dapat dibelanjakan dan kondisi keuangan yang lebih ketat. Investasi bisnis tetap juga terlihat menurun pada kuartal kedua," kata dia dikutip dari Antara.

Baca Juga: Pinjaman Karyawan Bank Mandiri: Prosedur dan Syarat Mudah agar Disetujui

Saat ini, perkembangan ekonomi memang cukup menekan berbagai negara sementara pasar tenaga kerja tetap sangat ketat, dengan tingkat pengangguran mendekati level terendah 50 tahun, lowongan pekerjaan mendekati level tertinggi dalam sejarah, dan pertumbuhan upah meningkat.