"Implikasinya kredit dari perbankan tidak sebesar sebelumnya," ungkap Edy.
Sementara itu dari sisi fiskal, kebijakan pemerintah menaikkan anggaran subsidi kata Edy berpotensi menurunkan kesempatan Indonesia menggunakan windfall profit (keuntungan tak terduga) akibat kenaikan harga komoditi untuk keperluan produktif.
"Apalagi mulai 2023, kita harus kembali ke defisit anggaran maksimal 3 persen. Artinya anggaran untuk belanja semakin ketat," ucapnya
Edy juga mengungkapkan, pemerintah terus mewaspadai potensi kenaikan inflasi terutama jika harga minyak dunia tidak bisa kembali turun dan masih di atas 100 US Dolar per barrel.
Sebab, dari sisi fiskal, pemberian subsidi energi semakin terbatas. Sehingga tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan penyesuaian harga.
Tantangan lainnya kata Edy, yakni peningkatan suku bunga yang sudah dilakukan oleh beberapa negara.
Ia menilai, jika Indonesia tidak melakukan hal yang sama, maka risikonya akan terjadi aliran modal ke luar atau capital outflow yang bisa berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
"Sebaliknya, jika BI juga terpaksa menaikkan suku bunga acuan, maka penyaluran kredit akan terganggu dan pada gilirannya pertumbuhan sektor riil juga akan melambat. Sekali lagi, pemerintah, BI dan lembaga terkait lainnya tentu akan bekerja secara bersama-sama agar berbagai tantangan itu bisa kita hadapi dan lalui dengan baik," tandasnya.
Baca Juga: Menelisik Sumber Mesin Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2022 yang Tembus 5,44 Persen