Hal ini membawa permasalahan baru di mana pinjaman online ilegal kerap merugikan masyarakat Indonesia yang ingin memenuhi kebutuhan finansial mereka melalui pinjaman dana secara online.
Jika kasus ini dibahas melalui pendekatan manajemen etika dalam berbisnis, pinjaman online ilegal sebagai suatu bisnis tidak mementingkan kedua pendekatan manajemen etika mau itu melalui “Compliance Approach” di mana pengelolaan etika menggunakan kebijakan dan regulasi karena mereka tidak terdaftar pada OJK dan tidak ada aturan yang mengontrol bisnis pinjaman online ilegal ini secara langsung.
Ataupun melalui “Integrity Approach” karena tidak ada aspek edukasi, pelatihan, serta pembangunan integritas secara internal terkait etika bisnis dan pentingnya perlindungan pengguna oleh pihak bisnis pinjaman online ilegal.
Pelanggaran-pelanggaran etika yang dilakukan oleh bisnis pinjaman online ilegal ini sangat merugikan masyarakat Indonesia sebagai pengguna dan pihak yang meminjam dana.
Pembebanan dana yang terlalu tinggi pada denda serta suku bunga yang diberikan, perlindungan data pribadi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, serta banyaknya kasus teror dan intimidasi yang dirasakan oleh pengguna saat proses penagihan sangat memberikan dampak buruk secara finansial dan mental pengguna.
Kerugian yang dirasakan akibat pinjaman online ilegal ini salah satunya dilatar belakangi dari minimnya literasi keuangan masyarakat Indonesia dalam menentukan platform pinjaman online apa yang terlisensi OJK dan dapat dipercaya, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) pada tahun 2024 yang diterbitkan oleh OJK disebutkan bahwa indeks inklusi keuangan Indonesia sudah memasuki besaran 75,02% namun indeks literasi keuangan berada di bawahnya dengan besaran 65,43%.
Perbedaan indeks antara literasi keuangan dengan inklusi keuangan yang dijelaskan pada SNLIK oleh OJK ini dapat menjadi identifikasi perlunya pengerahan edukasi literasi keuangan Indonesia agar masyarakat tidak hanya mengerti lebih luas mengenai perkembangan teknologi finansial di Indonesia, namun juga memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih informasi yang disuguhkan di internet mengenai aspek finansial teknologi khususnya pinjaman online.
Tercatat, perusahaan financial technology (fintech) peer to peer lending atau pinjaman online yang terdaftar dan berizin di OJK hingga Desember 2024 hanya ada 97 perusahaan. Jika terdapat pinjol yang tidak terdaftar, maka tergolong ilegal. Pinjol ilegal beroperasi dengan berbagai modus, termasuk meniru atau menduplikasi nama produk, media sosial, situs, hingga media resmi milik entitas berizin yang tujuannya tidak lain adalah melakukan penipuan (impersonation).
Data sejak 2017 s.d. 31 Juli 2024, Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) OJK telah menghentikan 9.180 entitas pinjol ilegal dan pinjaman pribadi (pinpri). Hingga akhir September 2024 lalu, OJK belum mengumumkan lagi daftar nama pinjol ilegal yang ditertibkan.
Baca Juga: Link Loker OJK Program PCS dan PCT, Syarat Lengkap serta Jurusan yang Dibutuhkan
Daftar nama pinjaman online pinjol yang telah ditertibkan oleh OJK bisa saja kembali muncul kembali melalui berbagai jejaring. Berdasarkan pengamatan, nama aplikasi pinjaman online ilegal baru biasanya memiliki kesamaan dengan yang sebelumnya telah ada.
Beberapa waktu lalu, OJK mencabut tiga lagi perusahaan pinjol. Pencabutan yang pertama terjadi pada tahun, dimulai pada TaniFund pada Mei 2024. Kemudian, OJK mencabut izin pinjol Dhanapala dan Jembatan Emas pada bulan Juli 2024.
Lalu, OJK kembali mencabut izin usaha PT Investree Radika Jaya (“Investree") yang alamatnya berada di di AIA Central Lantai 21, Jalan Jend. Sudirman Kav. 48A, RT05/RW04, Karet Semanggi, Jakarta Selatan, Indonesia 12930, pada tanggal 21 Oktober 2024.
Pencabutan Izin Usaha Investree tak lain adalah karena perusahaan melanggar ekuitas minimum dan ketentuan lainnya sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
Selain itu, kinerja perusahaan yang memburuk juga dinilai telah mengganggu operasional dan pelayanan kepada masyarakat. Pencabutan izin usaha itu dilakukan sebagai bagian dari upaya OJK mewujudkan industri jasa keuangan yang sehat, terutama penyelenggara LPBBTI yang berintegritas, memiliki tata kelola yang baik dan menerapkan manajemen risiko yang memadai dalam rangka perlindungan nasabah/masyarakat.