Suara.com - Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mengirimkan surat tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Dalam surat tersebut, para pekerja mendesak pemerintah untuk segera melakukan deregulasi terhadap pasal-pasal terkait tembakau dan makanan minuman dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, serta memberlakukan moratorium kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan.
Ketua Umum FSP-RTMM-SPSI, Sudarto AS mengungkapkan, keresahan mereka terhadap kondisi ekonomi global dan domestik yang tidak menentu serta tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Pemerintah harus berpihak kepada pekerja industri makanan, minuman, dan tembakau. Kebijakan yang tidak konsisten dan diskriminatif hanya akan memperburuk keadaan, termasuk insentif PPh 21 yang tidak mencakup para anggota kami di sektor industri hasil tembakau dan makanan minuman," ujar Sudarto di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Dia menuturkan, perluasan insentif PPh 21 ke sektor tembakau dan makanan-minuman akan menjadi bukti nyata komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan dan perlindungan bagi seluruh sektor padat karya, bukan hanya sebagian.
Lebih lanjut, Sudarto menekankan urgensi deregulasi dan revitalisasi industri padat karya untuk melindungi sektor makanan, minuman, dan tembakau dari tekanan ekonomi. Ia menyoroti PP 28/2024 yang dianggap kontroversial dan mendesak agar segera dibatalkan.
"Pasal-pasal dalam PP ini, seperti pasal yang mengatur larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan larangan pemajangan iklan di luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (aturan turunan PP 28/2024), mengancam keberlangsungan lapangan pekerjaan," kata dia.
Dalam surat yang dikirimkan kepada Presiden Prabowo, FSP RTMM-SPSI secara tegas menuntut pembatalan pasal-pasal terkait tembakau dan makanan minuman dalam PP 28/2024.
"Aturan ini tidak sesuai dengan tujuan yang diungkap ke publik. Kebijakan ini tidak berfungsi sebagai upaya mitigasi atau partisipasi, melainkan lebih kepada pelarangan yang mematikan industri. Padahal, saat ini tidak ada lapangan kerja pengganti," jelas Sudarto.
Baca Juga: Konglomerat Dato Sri Tahir Buka-bukaan Usai Bertemu Prabowo dan Bill Gates Pekan Lalu
Lebih lanjut, Sudarto juga menekankan pentingnya moratorium kenaikan CHT selama tiga tahun ke depan. "Di tengah kondisi ekonomi yang stagnan dan melemah, kenaikan CHT hanya akan menambah beban industri, meningkatkan peredaran rokok ilegal, dan berujung pada PHK massal," imbuh dia.
Sudarto menegaskan bahwa menyelamatkan sektor padat karya, terutama industri strategis seperti tembakau, sangat penting. "Industri ini melibatkan banyak pihak dari hulu ke hilir, mulai dari petani, produsen, hingga ritel dan sektor penunjang lainnya. Nasib banyak orang dipertaruhkan," tambahnya.
Ia meyakini bahwa industri hasil tembakau dapat menjadi pendorong pemulihan ekonomi nasional jika tidak ada kenaikan CHT. "Industri hasil tembakau adalah sektor padat karya yang khas Indonesia dengan bahan baku dominan dari dalam negeri. Ini sangat membantu pemulihan ekonomi nasional," imbuh Sudarto.
Pelaku Usaha Mulai Khawatir
Pelaku usaha mulai merasa khawatir tentang keberlanjutan industri hasil temabkau serta makanan dan minuman (Mamin). Terutama, setelah kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Indonesia meminta pemerintah untuk melakukan deregulasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap membebani pelaku usaha dan mengancam ketenagakerjaan, seperti zonasi penjualan rokok dan iklan rokok serta pengaturan kandungan garam, gula, dan lemak (GGL) yang diatur dalam PP 28/2024.