Bertepatan dengan peringatan Hari Keluarga Internasional, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) kembali menyerukan betapa krusialnya peran keluarga dalam agenda pembangunan nasional dan pengendalian jumlah penduduk.
Salah satu langkah investasi paling strategis dalam konteks ini adalah melalui perencanaan keluarga yang komprehensif, termasuk dalam hal penentuan jumlah anak yang diinginkan dalam sebuah keluarga.
Fenomena menarik yang saat ini tengah terjadi di Indonesia adalah kecenderungan banyak keluarga untuk memilih memiliki jumlah anak yang lebih sedikit. Hal ini tercermin dari penurunan tingkat kelahiran yang terpantau di beberapa wilayah.
Lebih lanjut, kondisi ini berjalan beriringan dengan fenomena ageing population, di mana proporsi penduduk lanjut usia dalam struktur keluarga semakin meningkat. Kombinasi kedua tren ini pada akhirnya memicu perubahan signifikan dalam komposisi dan dinamika internal keluarga di Indonesia.
LD FEB UI menekankan bahwa keputusan keluarga terkait jumlah anak dipengaruhi oleh beragam faktor sosial dan ekonomi yang kompleks. Oleh karena itu, upaya pengendalian penduduk melalui program perencanaan keluarga harus bersifat personalized dan adaptif, disesuaikan dengan kondisi sosial dan demografi yang unik di setiap wilayah.
Jika tren penurunan kelahiran ini tidak diidentifikasi dan direspon dengan kebijakan yang tepat sasaran, Indonesia berpotensi menghadapi ancaman depopulasi di sejumlah daerah dalam beberapa waktu mendatang. Isu krusial mengenai potensi depopulasi inilah yang menjadi fokus utama dalam hasil studi terbaru yang dilakukan oleh LD FEB UI.
Sebagai respons terhadap isu ini, LD FEB UI meluncurkan hasil studi mereka dalam bentuk policy brief yang berjudul: “Masa Depan Penduduk Indonesia: Kebijakan dan Strategi untuk Menghadapi Potensi Depopulasi”. Studi mendalam ini telah dilaksanakan sejak November 2024 dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui serangkaian diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion atau FGD) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah.
Temuan utama dari studi ini menggarisbawahi bahwa isu depopulasi di Indonesia masih menjadi ancaman nyata dalam jangka panjang. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi terjadinya depopulasi dalam waktu yang relatif dekat di beberapa daerah tertentu, seperti DKI Jakarta yang diproyeksikan mengalami depopulasi pada tahun 2026 dan Bali pada tahun 2046.
Salah satu faktor pendorong utama yang akan memicu kondisi depopulasi ini adalah tingkat kelahiran yang rendah dan terus menurun dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan perlunya implementasi kebijakan yang bersifat medis maupun non-medis yang bertujuan untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan angka kelahiran guna mencegah potensi terjadinya depopulasi di berbagai wilayah Indonesia.
Baca Juga: UI Minta Bahlil Revisi Disertasi Bukan Batalkan, Rektor: Kita Membina Bukan Membinasakan
Ancaman Depopulasi: Belajar dari Pengalaman Negara Lain
Depopulasi didefinisikan sebagai kondisi ketika suatu wilayah mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif, di mana jumlah kematian melebihi jumlah kelahiran dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan penduduk yang negatif dapat menimbulkan berbagai dampak serius terhadap aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah lebih dulu merasakan dampak buruk dari depopulasi.
Kedua negara tersebut telah mengalami penurunan jumlah penduduk dan menghadapi berbagai konsekuensinya, mulai dari peningkatan rasio ketergantungan (jumlah penduduk usia produktif yang menanggung penduduk usia non-produktif), kekurangan tenaga kerja yang signifikan, perlambatan pertumbuhan ekonomi, hingga potensi hilangnya warisan budaya akibat menurunnya jumlah generasi muda. Bahkan, di Jepang, rendahnya angka kelahiran dan penurunan jumlah penduduk telah menyebabkan banyak sekolah di wilayah pedesaan terpaksa digabungkan atau ditutup setiap tahunnya.
Turro Wongkaren, seorang Peneliti LD FEB UI, dalam forum FGD Policy Dialogue yang diselenggarakan di Jakarta pada 11 Desember 2024, menyampaikan pandangannya mengenai potensi dampak depopulasi di Indonesia. “Depopulasi berpotensi menimbulkan dampak yang sangat luas, mencakup berbagai sektor vital seperti ekonomi, sosial-politik, infrastruktur, hingga inovasi. Dari sudut pandang ekonomi, penurunan jumlah tenaga kerja dan perubahan komposisi penduduk dapat meningkatkan angka ketergantungan dan memberikan tekanan yang besar pada sistem jaminan sosial. Dari sisi sosial-politik, masuknya migran akibat kekurangan tenaga kerja dapat memicu gesekan budaya jika tidak dikelola dengan bijak. Selain itu, infrastruktur seperti sekolah dapat menjadi tidak terpakai, layanan publik perlu beradaptasi, dan tekanan untuk berinovasi juga berpotensi menurun seiring dengan menyusutnya jumlah penduduk,” jelas Turro Wongkaren.
Meskipun hasil proyeksi penduduk berdasarkan Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia secara nasional diperkirakan belum akan mengalami depopulasi hingga tahun 2050, indikasi awal menuju kondisi tersebut sudah mulai terlihat. Hal ini ditandai dengan tren pertumbuhan penduduk yang terus menurun setiap tahunnya dan diproyeksikan akan mencapai angka 0,25% pada tahun 2050. Yang lebih mengkhawatirkan adalah proyeksi bahwa DKI Jakarta dan Bali akan menjadi dua provinsi yang paling cepat mengalami depopulasi, yaitu masing-masing pada tahun 2026 dan 2046. Fakta ini menggarisbawahi betapa pentingnya pemahaman yang mendalam mengenai dinamika kependudukan di setiap daerah di Indonesia.
Disparitas Tingkat Kelahiran: Tantangan Kebijakan yang Kompleks