Suara.com - Asuransi syariah semakin berkembang pesat di Indonesia sebagai alternatif bagi masyarakat yang ingin mendapatkan perlindungan finansial tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah mengedepankan sistem berbagi risiko (risk sharing) dengan konsep ta'awun atau tolong-menolong antar peserta.
Hal itu menjadikan asuransi syariah sebagai instrumen keuangan yang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga memperkuat nilai kebersamaan dan keadilan dalam bertransaksi.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK mencatat tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia mencapai 43,42 persen, sedangkan inklusi keuangan syariah baru 13,41 persen.
Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa ada masyarakat yang masih meragukan kehalalan dari asuransi syariah. Padahal, segala hal tentang asuransi syariah sudah memiliki hukum dan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pengertian Asuransi Syariah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengartikan asuransi syariah sebagai sebuah usaha untuk saling melindungi dan saling tolong-menolong di antara para pemegang polis atau peserta.
Sementara berdasarkan Fatwa DSN MUI, asuransi syariah merupakan usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi berbentuk aset atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad.
Akad asuransi syariah yang dimaksud adalah tidak mengandung ghahar atau penipuan, maysir atau judi, riba, zhulm atau penganiayaan, riswah atau suap, barang haram dan maksiat.
Baca Juga: Apa Hukum Hutang Pinjol dalam Islam? Galbay Bisa Diburu Debt Collector hingga Terancam Penjara!
Dalam Islam, asuransi syariah juga disebut tafakul atau tadhamun, ta'min.
Dasar Hukum Asuransi Syariah dalam Islam
Dalam praktiknya, perusahaan asuransi syariah wajib beroperasi sesuai dengan hukum Islam yang telah ditetapkan dan diakui oleh pemerintah. Aspek hukum yang mendasari asuransi syariah dapat dikaji dari berbagai sumber yang berbeda.
Berdasarkan laman resmi perusahaan asuransi Axa Mandiri, berikut dua dasar hukum asuransi syariah di Indonesia.
1. Hukum asuransi syariah sesuai Al-Qur'an
- Surat Al Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
- Surat An Nisaa ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap mereka.”
- Hadist Riwayat Muslim dari Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat.”
2. Hukum asuransi syariah sesuai Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Prinsip hukum asuransi konvensional mulanya dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
Itulah sebabnya MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa asuransi berbasis syariah diperbolehkan di Indonesia. Fatwa yang menegaskan kehalalan asuransi syariah berada dalam:
- Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
- Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah
- Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada - Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
- Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah
Jenis Perjanjian dalam Asuransi Syariah
Asuransi syariah dijalankan berdasarkan perjanjian atau akad yang sesuai dengan aturan Islam. Akad ini menjadi dasar dalam setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi syariah. Berikut daftar jenis akad yang sering digunakan:
1. Akad Tabarru’
Akad ini berarti peserta asuransi memberikan sumbangan dalam bentuk dana tabarru’ yang dikumpulkan bersama. Dana ini digunakan untuk membantu peserta lain yang mengalami musibah atau kesulitan.
Dalam hal ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana agar bisa digunakan secara adil dan transparan sesuai prinsip tolong-menolong dalam Islam.
2. Akad Tijarah
Ini adalah akad atau kesepakatan antara peserta asuransi dan perusahaan dengan tujuan bisnis atau keuntungan finansial.
3. Akad Wakalah bil Ujrah
Peserta mempercayakan pengelolaan dana tabarru’ kepada perusahaan asuransi. Sebagai imbalannya, perusahaan mendapatkan upah atas jasa pengelolaan tersebut.
4. Akad Mudharabah
Peserta memberikan izin kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana tabarru’ sebagai mudharib atau pihak pengelola dana. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan dana ini nantinya akan dibagi sesuai kesepakatan antara peserta dan perusahaan.