Suara.com - Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso buka suara lonjakan impor barang dari China ke Indonesia yang tercatat meningkat tajam sepanjang April 2025.
Namun, Ia membantah bahwa peningkatan tersebut terjadi akibat praktik transhipment atau peralihan pasar ekspor dari China akibat kebijakan tarif Amerika Serikat.
Lonjakan signifikan itu sebelumnya tercermin dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis awal pekan lalu.
BPS mencatat, nilai impor nonmigas dari China ke Indonesia melonjak hingga 53,71% secara tahunan (year-on-year/yoy) sepanjang April 2025. Nilai impor tersebut mencapai USD 7,07 miliar, naik pula secara bulanan (month-to-month/mtm) sebesar 12,18%.
Menanggapi hal tersebut, Budi Santoso menegaskan belum ada indikasi kuat bahwa lonjakan impor ini disebabkan oleh praktik transhipment.
"Kalau indikasi (peralihan atau transhipment) itu belum ada ya. Karena begini, indikasi yang tadi transhipment, peralihan, ini kan bisa kita kontrol melalui SKA (Surat Keterangan Asal) kita. Jadi itu belum ada signifikasi seperti itu,"ujar Budi di Kantor Kementerian Perdagangan di Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Kendati begitu, Budi yang akrab disapa Busan mengakui bahwa lonjakan impor barang dari Negeri Tirai Bambu tersebut turut memperdalam defisit neraca perdagangan Indonesia.
"Memang terjadi defisit, naik turun, tapi kalau indikasi itu belum ada ya," tutur dia.
China, menurut Budi, tetap menjadi mitra dagang terbesar Indonesia, baik dalam hal ekspor maupun impor. Meski begitu, hubungan dagang ini masih menyisakan ketimpangan neraca perdagangan yang cenderung merugikan Indonesia.
Baca Juga: Prabowo Subianto Tonton Timnas Indonesia vs China, Erick Thohir: Semoga Bawa Hoki
Berdasarkan laporan BPS, defisit neraca perdagangan total dengan China mencapai USD 6,28 miliar pada periode Januari-April 2025, menjadikannya sebagai negara penyumbang defisit perdagangan terbesar untuk Indonesia.
Yang mengejutkan, defisit ini melonjak 107,95% secara tahunan (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024. Kenaikan ini didorong oleh ketimpangan signifikan antara nilai impor dan ekspor nonmigas Indonesia dengan China.
Sebagai perbandingan, impor nonmigas dari China mencapai USD 25,77 miliar pada Januari-April 2025. Sedangkan ekspor Indonesia ke China hanya sebesar USD 18,87 miliar dalam periode yang sama, memperlebar jurang perdagangan antar kedua negara.
Lonjakan impor ini terjadi di tengah berbagai spekulasi bahwa barang-barang asal China dialihkan ke Indonesia akibat tekanan kebijakan dagang dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.
Namun, Budi menekankan bahwa pemerintah tetap memiliki mekanisme pengawasan, terutama lewat instrumen Surat Keterangan Asal (SKA), yang mampu mendeteksi pergerakan barang dan mencegah praktik transhipment.
Barang impor telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Mulai dari gawai canggih, pakaian, makanan, hingga bahan baku industri, impor mengisi celah yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.