Suara.com - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperingatkan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi akan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang makin parah, dan pada akhirnya, meningkatkan jumlah penduduk miskin di Tanah Air.
"Indonesia harus bersiap menghadapi risiko peningkatan tingkat kemiskinan karena pertumbuhan ekonomi menekan penyerapan lapangan kerja kita," tegas Abra PG Talattov, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef, dalam diskusi bertajuk 'Angka Kemiskinan Turun, Kesejahteraan Naik?' di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Abra mengungkapkan, tren mengerikan ini sudah terlihat jelas dalam data PHK tiga tahun terakhir. Jumlah pekerja yang di-PHK terus melonjak dari tahun ke tahun.
"Tenaga kerja yang ter-PHK selama semester I tahun ini sudah mencapai 42.385 orang, meningkat 32,2 persen dibandingkan semester I 2024 yang sebanyak 32.064 orang. Tahun lalu (2024) pun meningkat 21,5 persen dibandingkan 2023 yang sebanyak 26.400 orang. Jadi memang ada kecenderungan jumlah PHK di Indonesia terus meningkat,” jelasnya.
Ironisnya, PHK paling banyak terjadi di "kantong-kantong" populasi besar di Pulau Jawa. Jawa Tengah memimpin dengan 10.995 orang, disusul Jawa Barat (9.494), Banten (4.267), Jakarta (2.821), dan Jawa Timur (2.246) pada semester I 2025. "Ini menjadi risiko untuk mengerek naik tingkat kemiskinan di Indonesia," ungkap Abra.
Ancaman tidak hanya datang dari dalam negeri. Abra juga mengingatkan bahwa dunia harus mewaspadai proyeksi perlambatan atau bahkan penurunan penciptaan tenaga kerja baru di level global. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memprediksi pertumbuhan tenaga kerja baru secara global akan turun dari 1,7% (setara 60 juta pekerja) menjadi 1,5% (setara 53 juta pekerja).
"Artinya juga Indonesia perlu mewaspadai ketika ada potensi lambatnya penciptaan tenaga kerja baru, baik di level global maupun nasional,” pungkasnya, menyerukan kewaspadaan ekstra terhadap tantangan ketenagakerjaan di masa depan.