Prabowo Gandeng Trump, China Menanti Giliran: Risiko Tarik Ulur Dua Raksasa Dunia

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 01 Agustus 2025 | 13:54 WIB
Prabowo Gandeng Trump, China Menanti Giliran: Risiko Tarik Ulur Dua Raksasa Dunia
Seminar bertajuk “Antara Amerika dan China: Indonesia di Era Perang Dagang Trump 2.0,” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Universitas Paramadina.

Suara.com - Kesepakatan Tarif antara Presiden Prabowo dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuai respons beragam dari publik di tanah air.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, produk Indonesia diharuskan membayar hingga 19 persen tarif bila ingin merambah pasar AS, sedangkan produk AS sendiri akan mendapat tarif minimal, bahkan sebagian besar di antaranya akan dipatok tarif 0 persen.

Bagi sementara kalangan, kesepakatan di atas dianggap memberatkan Indonesia. Sedangkan bagi kalangan lainnya, kesepakatan itu ditanggapi secara positif, karena diharapkan berpotensi mempertahankan peluang ekspor ke AS dan meningkatkan potensi investasi dari perusahaan-perusahaan asal ekonomi terbesar dunia itu di Indonesia.

Namun ditinjau dari segi geopolitik, kesepakatan yang diumumkan beberapa minggu lalu itu dapat dimaknai sebagai langkah penting yang berkaitan erat dengan posisi netral Indonesia dalam dunia internasional yang dalam perkembangan terakhir diwarnai dengan rivalitas antara negara-negara besar, khususnya Republik Rakyat China (RRC) dan AS.

“Sejak akhir 2024, usai Presiden Prabowo berkunjung ke Beijing dan merilis pernyataan bersama dengan Presiden Xi Jinping, baik pemerhati di dalam negeri maupun dunia internasional berandai-andai bahwa Indonesia cenderung lebih condong kepada RRC,” tutur pemerhati China yang juga pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto dalam seminar bertajuk “Antara Amerika dan China: Indonesia di Era Perang Dagang Trump 2.0,” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Universitas Paramadina, Jumat (1/8/2025).

“Namun kesepakatan Presiden Prabowo dan Trump baru-baru ini memperlihatkan bahwa Indonesia pun berupaya merangkul AS dan dengan demikian tetap berkomitmen menjaga posisi netral dalam konstalasi geopolitik yang berkembang saat ini,” tutur Johanes yang juga mengetuai Forum Sinologi Indonesia (FSI).

Akademisi ini berpendapat bahwa upaya Indonesia mempertahankan, atau bahkan meningkatkan, relasi ekonomi dengan AS itu menggugurkan prediksi bahwa Indonesia cenderung berpihak pada salah satu negara besar dunia.

“Selain urusan perdagangan, kesepakatan tarif dengan Trump perlu dipandang sebagai upaya cerdas Prabowo menjaga netralitas,” katanya.

Selain itu, Johanes juga sepakat dengan pandangan ekonom kenamaan asal Malaysia, Profesor Woo Wing Thye, yang memandang kesepakatan di atas sebagai sebuah strategi Indonesia untuk merangkul kekuatan kekuatan besar dunia, termasuk China dan AS, agar Indonesia dapat memobilisasi dukungan global bagi agenda pembangunan nasionalnya.

Baca Juga: Istana Lempar Bola Soal Amnesti Hasto dan Abolisi Lembong: Kapan Prabowo Teken Keppres?

Namun Johanes mengingatkan bahwa kesepakatan antara Prabowo dan Trump di atas dapat saja direspons oleh RRC dengan meminta Indonesia memberikan akomodasi yang lebih bagi kepentingan RRC.

Menurutnya, setidaknya terdapat dua hal yang patut diwaspadai, pertama adalah bila RRC meminta hambatan yang lebih rendah lagi bagi masuknya barang-barang mereka.

Johanes berpendapat bahwa bila permintaan tersebut terjadi dan dikabulkan, maka produk asal RRC yang saat ini pun telah mendominasi pasar Indonesia akan semakin merajalela.

Mengingat produk asal negara itu seringkali berkompetisi langsung dengan produk-produk lokal, kehadirannya yang makin masif akan membawa dampak signifikan bagi dunia usaha dan dunia kerja di Indonesia.

Hal kedua yang perlu menjadi catatan adalah bila Tiongkok meminta lebih banyak partisipasi dalam berbagai proyek-proyek penting di Indonesia, misalnya proyek infrastruktur.

Dalam pandangan Johanes, penting bagi pemerintah untuk mengkaji dan mengevaluasi keterlibatan China dalam proyek-proyek tersebut, apalagi pengalaman masa lalu memperlihatkan potensi pembengkakan anggaran dan meningkatnya beban pengembalian pinjaman dalam jangka panjang yang dipikul oleh pemerintah Indonesia di masa mendatang, seperti yang terjadi dalam Proyek Kereta Api Cepat Jakarta Bandung.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI