Daya Beli Melemah, CORE Curiga Target Pajak RAPBN 2026 'Ngawang'!"

Senin, 25 Agustus 2025 | 15:05 WIB
Daya Beli Melemah, CORE Curiga Target Pajak RAPBN 2026 'Ngawang'!"
Target pendapatan ambisius dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar Rp3.147 triliun, yang naik 11% dari outlook 2025, kini dipertanyakan kredibilitasnya. (pexels)

Suara.com - Target pendapatan ambisius dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar Rp3.147 triliun, yang naik 11% dari outlook 2025, kini dipertanyakan kredibilitasnya.

Dalam riset CORE Indonesia berjudul RAPBN 2026: Ekspansi Fiskal di Atas Fondasi Rapuh membongkar kerentanan ganda yang mengancam keuangan negara.

Menurut riset CORE yang dirilis Senin (25/8/2025), target pendapatan ini sangat bergantung pada asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4% yang dinilai terlalu ambisius. Jika pertumbuhan ekonomi hanya mencapai kisaran bawah 5%, basis penerimaan, terutama dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sangat sensitif terhadap daya beli, akan langsung melemah.

Dalam laporan itu, target pendapatan RAPBN 2026 bertumpu pada asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4%. Angka ini dinilai ambisius, mengingat realisasi pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya yang cenderung stagnan.

"Jika pertumbuhan ekonomi hanya berada di kisaran bawah atau bahkan di bawah 5%, dampaknya langsung terasa pada penerimaan perpajakan, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang sangat sensitif terhadap daya beli masyarakat," tulis laporan Core Indonesia.

Masalah kian pelik karena struktur perpajakan Indonesia menunjukkan fundamental yang lemah. Elastisitas pajak (tax buoyancy) Indonesia sangat rendah dan fluktuatif, bahkan sering berada di bawah 1. Ini artinya, setiap kenaikan 1% pada PDB tidak selalu diikuti oleh kenaikan penerimaan pajak sebesar 1%. Penyebabnya adalah sempitnya basis pajak akibat dominasi sektor informal dan rendahnya kepatuhan pajak. Ironisnya, sektor-sektor dengan pertumbuhan lapangan usaha tertinggi justru memberikan sumbangan pajak yang relatif kecil.

Tidak hanya dari pajak, pilar penerimaan lainnya yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas juga menghadapi ancaman serius. RAPBN 2026 mengasumsikan harga minyak (ICP) sebesar USD 70/barel. Padahal, lembaga-lembaga global seperti EIA memproyeksikan harga akan turun ke level USD 58/barel pada 2026 karena meningkatnya pasokan.

Selain harga, target lifting migas yang ambisius (±610 ribu barel per hari untuk minyak dan ±984 RBSMPH untuk gas) juga sulit dicapai. Selama lima tahun terakhir, realisasi selalu di bawah target akibat cadangan sumur minyak yang menipis dan keterlambatan proyek pengembangan hulu.

Kerentanan ganda ini mengancam kredibilitas fiskal pemerintah. Pajak dibatasi oleh rendahnya respons terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara PNBP sangat bergantung pada harga dan volume produksi migas yang tak pasti.

Baca Juga: Ilusi' APBN 2026: CORE Indonesia Wanti-wanti, Asumsi Makro Pemerintah Berpotensi Gagal Maning!

Jika keduanya tidak mencapai target, dampaknya akan terasa langsung dalam bentuk pemangkasan atau pergeseran belanja di pertengahan tahun. Hal ini berpotensi mengganggu program-program prioritas pemerintah dan mengurangi kredibilitas di mata publik maupun pelaku pasar. Tanpa reformasi struktural yang mendalam, upaya menaikkan pendapatan negara akan terus bergantung pada faktor-faktor siklis, bukan pada fundamental yang kuat. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar untuk membuktikan bahwa target ambisius ini tidak sekadar angka di atas kertas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?