Warga Jakarta Telantarkan Jenazah Pejabat Pajak di Pinggir Jalan, Tolak Gotong ke Makam

Bernadette Sariyem Suara.Com
Selasa, 09 September 2025 | 14:44 WIB
Warga Jakarta Telantarkan Jenazah Pejabat Pajak di Pinggir Jalan, Tolak Gotong ke Makam
Ilustrasi peti mati.
Baca 10 detik
  • Qiu Zuguan adalah pejabat pajak VOC di Batavia (kini Jakarta) yang menerapkan berbagai kebijakan kejam.
  • Dia juga memungut pajak untuk upacara pernikahan dan kematian, sehingga sangat dibenci rakyat.
  • Para pengusung peti menolak melanjutkan perjalanan dan menelantarkan jenazahnya.

Suara.com - Pemerintah atau pejabat publik tidak pro-rakyat, cepat atau lambat, tentu akan menuai perlawanan masyarakat dengan cara apa pun, termasuk membiarkan jenazahnya di pinggir jalan tanpa ada yang mau membantu pemakamannya.

Sejarah telah berulang kali membuktikan adagium ini, dan salah satu contoh paling ekstrem datang dari Batavia (kini Jakarta) abad ke-18.

Pada abad tersebut, terdapat pejabat Tionghoa bernama Qiu Zuguan, dikenal juga sebagai Khoe Tsouwko.

Ia adalah potret sempurna bagaimana kekuasaan yang disalahgunakan untuk menindas rakyat akan berbuah kebencian abadi, bahkan ketika jasadnya sudah tak bernyawa.

Karier Qiu Zuguan menanjak ketika Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), Joan van Hoorn, menunjuknya untuk mengisi jabatan di College van Boedelmeesters voor de Chinese sterfhuizen atau Boedelkamer pada tahun 1705.

Lembaga ini, menurut sejarawan Leonard Blussé dan Nie Dening dalam The Chinese Annals of Batavia (terbitan ulang: Leiden: Brill, 2018), memiliki peran krusial dalam mengatur harta peninggalan orang-orang Tionghoa di Batavia.

Para kuratornya berwenang melikuidasi perkebunan, mengurus warisan, hingga merawat anak-anak yatim piatu.

Ironisnya, lembaga ini pernah dibubarkan atas keluhan warga Tionghoa.

Namun, kekacauan yang timbul setelahnya membuat mereka meminta lembaga ini dibentuk kembali pada 1655.

Baca Juga: Menkeu Baru Punya PR Berat, Kurangi Utang hingga Hilangkan Pajak Berat untuk Kelas Menengah

Di tangan Qiu Zuguan, lembaga yang seharusnya berfungsi membantu justru menjadi mesin pemeras yang efisien.

Selama menjabat sebagai Boedelmeesters, Qiu Zuguan, mantan kapitan Tionghoa di Banda, mengeluarkan serangkaian peraturan yang membuat napas rakyat sesak.

Salah satu yang paling terkenal adalah kewajiban bagi semua orang, baik Tionghoa, Belanda, maupun kalangan lain, untuk membeli sertifikat penguburan dari sekretaris weeskamer setiap kali seorang budak mereka meninggal dunia.

Bagi yang berani menutupi kabar kematian dan tidak melapor, denda sebesar 25 real menanti.

Tak berhenti di situ, Qiu Zuguan juga memberlakukan pajak tambahan untuk upacara pernikahan.

Kebijakan ini menuai kecaman luas karena menambah beban yang sudah ada.

Sebagaimana dicatat oleh arsiparis Mona Lohanda dalam The Kapitan Cina of Batavia, 1837–1942 (Jakarta : Djambatan, 1996),  komunitas Tionghoa di Batavia sejak awal berdirinya kota pada 1619 telah menjadi sasaran utama wajib pajak.

“Setiap orang Tionghoa yang sehat dan berusia antara 14 hingga 60 tahun harus membayar 1,5 real per bulan. Sebuah tanda pembayaran atau hoofdbriefje diberikan ketika orang Tionghoa telah membayar pajak,” tulis Mona.

Beban pajak mereka sudah sangat beragam, mulai dari hoofdgeld der Chineezen (pajak kepala), pajak perjudian, hingga pajak untuk memelihara rambut dan kuku panjang.

Kebijakan baru dari Qiu Zuguan terasa seperti menuang garam di atas luka yang menganga.

Tak heran, namanya menjadi sinonim dengan kebencian.

Namun, puncak dari kemarahan rakyat yang terpendam itu baru meledak pada hari kematiannya di bulan Juli 1721.

Prosesi pemakaman yang seharusnya berjalan khidmat berubah menjadi drama penghinaan publik.

Awalnya, jenazah Qiu Zuguan akan dimakamkan di Krokot.

Namun, ketika para pengusung peti mati tiba dan diminta membawanya ke pemakaman Ganwang Shan, mereka menolak.

Memori kolektif tentang penderitaan yang disebabkan oleh mendiang seketika membakar amarah mereka.

“Para pengusung peti mati itu teringat bahwa di masa hidupnya, pejabat Tionghoa itu memiliki karakter yang buruk, suka membuat peraturan yang merugikan orang lain, sehingga mereka semakin tidak menyukai Qiu Zuguan dan kemudian meletakkan peti mati itu di jalan karena tidak ada yang mau mengusung peti matinya lebih jauh lagi,” tulis Blussé dan Dening.

Peti mati berisi jasad pejabat yang dulunya berkuasa itu tergeletak begitu saja di tengah jalan.

Para pejabat Tionghoa yang mengiringi prosesi panik. Mereka sadar, pemandangan ini akan mencoreng nama baik keluarga dan seluruh pejabat Tionghoa.

Dengan segala cara, mereka membujuk para pengusung untuk melanjutkan perjalanan.

Bujukan itu sempat berhasil, namun kebencian para pengusung ternyata lebih dalam.

Ketika iring-iringan tiba di kawasan Danlan Wang (kini Tanah Abang), mereka kembali berhenti.

Kali ini, penolakan mereka mutlak. Dengan cara apa pun mereka dipaksa, para pengusung tak mau lagi membawa peti mati tersebut.

Akibatnya, prosesi pemakaman tertunda hingga akhirnya sejumlah penduduk lokal disewa untuk membawa peti mati Qiu Zuguan ke pemakaman Ganwang Shan.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI