Suara.com - Ribuan restoran dan bisnis kuliner di Singapura terpaksa gulung tikar dalam dua tahun terakhir. Fenomena ini mengejutkan banyak orang karena Singapura selama ini dikenal sebagai pusat kuliner kelas dunia.
Dalam setahun terakhir saja, lebih dari 3.000 usaha F&B tutup, termasuk restoran legendaris dan jaringan besar yang sebelumnya dianggap kuat. Lantas, apa penyebab Singapura mengalami krisis?
Untuk lebih jelasnya, simak 5 fakta krisis Singapura yang membuat sektor kuliner ambruk, seperti telah Suara.com rangkum dari The Business Times dan sumber lainnya.
1. Biaya Sewa yang Melejit Tak Terkendali
Salah satu beban paling berat bagi pemilik restoran di Singapura adalah harga sewa tempat usaha.
Banyak penyewa melaporkan kenaikan sewa mencapai 20-49 persen, bahkan ada yang melonjak 50–100 persen setelah pandemi.
Lonjakan ini tak lepas dari meningkatnya minat investor pada ruko komersial, sehingga pemilik properti menuntut imbal hasil sewa lebih tinggi.
Akibatnya, restoran kecil dan keluarga sulit bertahan, sementara hanya jaringan besar dengan modal tebal yang bisa menanggung biaya tersebut.
Baca Juga: Dari Pasar Malam ke Fine Dining, Daging Panggang Tak Pernah Kehilangan Pesona
2. Krisis Tenaga Kerja dan Gaji yang Melonjak
Selain sewa, masalah lain yang menghantam sektor kuliner adalah tenaga kerja. Jumlah juru masak berkurang, sedangkan permintaan staf tetap tinggi.
Akibatnya, banyak restoran terpaksa menggandakan gaji normal hanya untuk mendapatkan karyawan.
Bagi restoran kecil, kondisi ini jelas memberatkan. Mereka akhirnya terpaksa menutup usaha meski sudah menaikkan gaji dan mengurangi jam operasional.
3. Perubahan Gaya Hidup Konsumen
Krisis ini juga dipengaruhi oleh perubahan perilaku masyarakat. Jika dulu pelanggan setia bisa makan di restoran favorit mereka 3-4 kali seminggu, kini frekuensinya turun drastis, bahkan hanya sekali dalam sebulan.
Tak hanya itu, anak muda, khususnya Gen Z Singapura mencari restoran baru lewat media sosial, bukan lewat rekomendasi keluarga atau tradisi kuliner. Artinya, restoran yang tidak aktif di dunia digital makin terpinggirkan.
4. Penumpukan Utang
Tak hanya restoran, pemasok makanan pun ikut terkena dampaknya. Banyak restoran menunda pembayaran hingga berbulan-bulan.
Kondisi ini membuat arus kas pemasok tersendat, bahkan ada yang merugi hingga puluhan ribu dolar ketika pelanggan kabur tanpa membayar. Masalah ini menjadi rantai domino yang memperburuk situasi.
5. Tumbangnya Restoran Legendaris
Yang paling menyedihkan, bukan hanya restoran baru atau kecil yang tumbang, tapi juga tempat makan ikonik yang sudah jadi bagian sejarah kuliner Singapura.
Contohnya Ka-Soh, restoran Kanton berusia 86 tahun yang pernah jadi favorit banyak orang. Restoran ini harus menyajikan sup ikan terakhirnya pada 28 September 2025.
Bahkan grup besar seperti Prive Group dan restoran Michelin juga ikut tutup.
Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis kuliner Singapura tak pandang bulu. Baik pemain kecil maupun besar sama-sama terkena imbasnya.
Kontributor : Dini Sukmaningtyas